Mengenai Saya

Foto saya
bandung, jawa barat, Indonesia
Pendidikan : > SDN 05 Pariaman > SMPN 07 Sakarek ULu > SMAN 1 Pariaman > STAI{ Sekolah Tinggi agama islam } > Pondok Pesantren Kediri Jawa Timur Tahun 1997 _ 1999 > Pondok Pesantren Al-Barokah Purworejo, Jawa Tengah.pengajar di pon pes al huda riau,,2004 - 2006..Sekarang menetap di bandung.ALHAMDULILLAH......KATAM HADIST SHOHIH BUKHORI,SHOHIH MUSLIM,SUNAN NASAI,SUNAN ABU DAUD,SUNAN TIRMIZI,...

Selasa, 04 Januari 2011

Mempelajari Hadist


Kewajiban Mempelajari Hadist
Inti ajaran Islam dibangun di atas dua pondasi: Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya memiliki kaitan yang sangat erat Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak bisa diartikan dengan benar dan tepat tanpa bantuan keterangan dari Sunnah Nabi Saw. Salah satu contoh adalah tentang tata cara shalat yang tidak mungkin diraktekan tanpa bantuan dari Sunnah Nabi. Karena Al-Qur’an sendiri tidak menyebutkan tata cara shalat itu dan Al-Qur’an hanya menegaskan hanya wajibnya shalat lima waktu itu saja.
Karena pentingnya pengetahuan tentang hadist ini, Imam Abu Hanifah pernah berujar: ” Tanpa Sunnah tak seorangpun dari kita yang dapat memahami Al-Qur’an.”
Mempelajari hadits Nabi SAW mempunyai keistimewaan tersendiri sebagaimana dijanjikan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya bahwa orang yang mempelajari dan menghafal hadits-haditsnya akan dianugerahi oleh Allah Swt wajah yang bercahaya, penuh dengan pancaran nur keimanan yang menandakan ketenangan hati dan keteduhan batin. Sabda beliau Saw:
Allah membuat bercahaya wajah seseorang yang mendengar dari kami sebuah hadits, kemudian menghafalnya dan menyampaikannya …” (Abu Daud dalam Sunannya dan At-Tirmidzi dalam Sunannya).

Pahala Apa Yang Diproleh Bagi Pelajar Hadist..??

# Wajahnya Berseri-Seri
Rasulullah Saw bersabda:
“Semoga Allah menjadikan berseri-seri wajah orang yang mendengarkan sabdaku lalu memahaminya dan menghafalkannya kemudian dia menyampaikannya, karena boleh jadi orang yang memikul (mendengarkan) fiqh akan menyampaikan kepada yang lebih paham darinya” (HR. Ashabus Sunan)

Sufyan bin ‘Uyainah (pemuka hadist di awal Islam) pernah berkata : “Tidak seorang pun yang menuntut/mempelajari hadits kecuali wajahnya cerah / berseri-seri disebabkan doa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (di hadits tersebut).”

# Paling banyak bershalawat kepada Nabi
Penuntut Ilmu hadist adalah orang yang paling banyak bershalawat kepada Nabi Saw
Rasulullah Saw bersabda :

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
“Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.”
Bershalawat setelah mendengar atau membaca tulisan Muhammad merupakan salah satu bentuk kesunnahan. Dan para penuntut ilmu hadist pastinya akan banyak membaca shalawat ketika mendengar atau membaca sebuah hadist dan ini dilakukan setiap waktu dan lidahnya senantiasa basah dengan shalawat. Shidiq Hasan Khan (salah seorang pemuka hadist kontemporer) pernah mengatakan: “….. Para penuntut ilmu hadist ini adalah orang yang paling pantas bersama Rasulullah Saw di hari kiamat, dan merekalah yang paling berbahagia mendapatkan syafa’at Rasulullah Saw…. maka hendaknya anda wahai pencari kebaikan dan penuntut keselamatan menjadi Ahli Hadits atau yang berusaha untuk itu.”

# Mendapatkan Berkah Dunia Akhirat
Sufyan Ats Tsaury berkata : “Saya tidak mengetahui amalan yang lebih utama di muka bumi ini dari mempelajari hadits bagi yang menginginkan dengannya wajah Allah Ta’ala.“ Ia menambahkan pula: “Mendengarkan atau mempelajari hadits merupakan kebanggaan gi yang menginginkan dengannya dunia dan merupakan petunjuk bagi yang menginginkan dengannya akhirat”


Besar Sekali Pahala Yang Bepergian Untuk Belajar Hadist
Seorang muslim yang bepergian hanya untuk belajar atau mendengarkan hadist, baik belajar di pesantren, menghadiri majelis taklim atau yang lainnya akan mendapatkan pahala besar di sisi Allah Swt. Ilmu hadist seperti ilmu Islam lainnya wajib dipelajari seperti keharusan seorang muslim belajar matematika, biologi atau ilmu pengetahuan dasar lainnya.
Allah Swt berfirman:

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS.At Taubah:122)

Ibrahim bin Adham berkata: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mencegah bala’(bencana) pada ummat ini disebabkan rihlah yang dilakukan oleh para penuntut ilmu hadits”

Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad


Hadist dilihat dari sampainya kepada kita ada dua macam, yaitu:
A. Hadist Mutawatir
B. Hadist Ahad

I. Hadist Mutawatir
Dari segi bahasa, mutawatir berarti sesuatu yang datang secara beriringan tanpa diselangi antara satu sama lain
Hadist Mutawatir berarti hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi sampai akhir sanad.
Maksdunya Hadits mutawatir itu adalah hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut akal mereka tidak mungkin sepakat berbuat dusta, dan banyaknya rawi ini ini seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya dalam setiap tingkatan (tabaqat/generasi).

II. Syarat Hadist Mutawatir
# Diriwayatkan oleh banyak perawi. Meskipun muhaditsin (ahli hadist) berbeda pendapat mengenai seberapa banyak jumlah sedikitnya perawi ini, namun pendapat yang dipilih setidaknya mencapai 10 orang

# Banyaknya orang yang meriwayatkan ini harus ada dalam setiap tingkatan (tabaqat/generasi)

# Menurut akal tidak mungkin perawi ini mempunyai kesepakatan untuk berdusta ketika meriwatkan hadist. (Artinya hadist mutawatir ini memiliki kekuatan hukum yang pasti karena banyaknya orang yang meriwayatkan, dan riwayat ini datang dari sejumlah rawi, di setiap generasi, yang berasal dari beberapa daerah pula. Sehingga ketika menerima hadist ini akal mempercayainya karena tidak mungkin dari sekian banyaknya rawi mereka sepakat untuk memalsukan hadist ini.

# Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan pemberitaanya bersifat indrawi ( proses pendengaran dan penglihatan langsung ). Berupa rangkuman suatu peristiwa ke peristiwa yang lain atau hasil dari kesimpulan dari satu dalil. Dan bukan penerimaan oleh akal / logika murni seperti teori filsafat tentang alam dan ketuhanan, yang tidak dapat di kategorikan sebagai suatu yang mutawatir ,karena tidak ada jaminan kebenaran logika yang benar.


III. Kekuatan Hukum Hadist Mutawatir
Hadits mutawatir memiliki klasifikasi daruri, yaitu kekuatan hukum yang kuat, Dan harus diterima dengan bulat karena datangnya melalui proses qath’i (pasti), seakan-akan seseorang mendengar langsung dari Nabi Muhammad Saw.
Sedangkan meneliti kembali para rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan daya hafalnya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Seperti pengetahuan kita akan adanya kota London, Makkah, Madinah, Jakarta, New York, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Sedangkan mengingkari hadits mutawatir dianggap kufur.

IV. Pembagian Hadist Mutawatir
Hadist Mutawatir dibagi dua:

1. Mutawatir Lafzi/ Lafaz
Yaitu apabila sama dalan makna dan lafznya, contohnya:
"Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah Saw) maka dia akan disiapkan tempat duduknya dari api neraka.”
Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.

2. Mutawatir Ma’nawi
Yaitu mutawatir dalam maknanya sedangkan lafaznya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo'a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo'a.

V. Keberadaan Hadist Mutawatir
Hadits mutawatir pada kenyataanya jumlahnya cukup banyak, namun bila dibandingkan dengan hadits ahad, maka jumlahnya sangat sedikit.
Salah satu contoh hadist mutawatir adalah:

Hadits mengusap dua khuff, hadits mengangkat tangan dalam shalat, hadits tentang telaga, dan hadits : "Allah merasa senang kepada seseorang yang mendengar ucapanku....." "Al-Qur'an diturunkan dalam tujuh huruf", hadits "Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun untuknya rumah di surga", hadits "Setiap yang memabukkan adalah haram", hadits "Tentang melihat Allah di akhirat", dan hadits "tentang larangan menjadikan kuburan sebagai masjid.”

Meskipun ada di kalangan muhaditsin yang menyatakan hadist mutawatir itu hanya sedikit jumlahnya. Itu hanya berkisar pada keberadaan hadit mutawatir lafzi, sedangkan hadist mutawatir ma’nawi banyak jumlahnya. Dengfan demikian perbedaan pandangan ini hanya berkisar tentang banyak atau tidaknya hadist mutawatir lafzi saja.

Ilmu Mustalah Hadist


Yaitu ilmu yang mempelajari tentang pokok dan kadiah yang berkaitan dengan sanad satu hadist dan matan hadist ditinjau dari diterima (qabul) atau tidaknya (raddu/mardud) sebuah hadist.

Hadits
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa ucapan (qauly), perbuatan (fi'ly), ketetapan (taqriry), atau dengan sifat.

Kesimpulan

# Hadits qauly: Adalah hadits yang berisi tentang ucapan Nabi Saw

# Hadits fi'ly: Hadist yang berupa perbuatan Nabi Saw yang dideskripsikan oleh Sahabat.

# Hadits taqriry: Adalah hadits yang berisi tentang persetujuan atau ketetapan Nabi Saw terhadap ucapan atau perbutan yang dilakukan oleh Sahabat, termasuk diamnya Nabi Saw ketika melihat satu perbuatan sahabat di hadapan beliau.


Atsar
Ada dua pengertian tentang arti Atsar:

# Sama dengan makna Hadist

# Sesuatu yang datang dari Sahabat atau Tabi’in, baik berupa ucapan atau perbuatan.


Khabar
Ada tiga pendapat berkenaan dengan arti khabar, yaitu:
# Menurut pandangan ulama hadist Khabar ini semakna dengan hadist

# Menurut sebagian pandangan Khabar adalah sesuatu yang bukan berhubungan dengan hadist, misalnya yang berhubungan dengan sejarah Nabi dan lainnya.

# Khabar lebih umum dari pada hadist, artinya khabar bermakna sesuatu yang datang dari Nabi Saw atau dari yang lain, seperti dari sahabat Jika disebut khabar berarti termasuk di dalamnya makna hadist, sedangkan hadist belum tentu disebut khabar, karena Khabar berarti sesuatu yang datang dari selain Nabi juga


Kesimpulan
# Kata Hadist sendiri selain sesuatu yang disandarakan kepada Nabi Saw, namun juga terkadang berarti sesuatu yang datang dari sahabat atau tabi’in. Namun umumnya hadist sendiri dimaksudkan seperti definisi hadist diatas

# Terkadang makna Atsar dan Khabar berarti sesuatu yang datang dari Nabi Saw, ataupun yang datang dari Sahabat atau Tabi’in.


Sanad
Sanad atau isnad (jamak’plural) secara bahasa artinya sandaran, maksudnya:
Mata rantai atau jalan yang bersambung sampai kepada matan (isi hadist) yang terdiri dari para rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits dan menyampaikannya.
Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang sebelum Rasulullah Saw yakni Sahabat.
Misalnya Bukhari meriwayatkan satu hadits, maka Bukhari dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum Bukhari disebut sanad pertama sedangkan Sahabat yang meriwayatkan hadits itu dikatakan sanad terakhir.
Contoh lain: Bukhari meriwayatkan dari A terus B, C, D, E. Dan E dari Nabi Saw.
Si A ini disebut dengan sanad pertama, sedangkan E sanad terakhir. Sedangkan A disebut rawi, B rawi dan seterusnya. Sedangkan mata rantai yang menghubungkan antara A, B, C, D,dan E disebut dengan Sanad.

Matan Hadist
Adalah isi, ucapan atau lafazh-lafazh hadits yang yang diriwayatkan atau yang dismpaikan oleh sanad terakhir.

Kedudukan Hadist Terhadap Al-Qur’an
# Bayan tafsir:
Menjelaskan apa yang terkandung dalam Al Qur'an dan penjelasan ini berupa:

1. Menjelaskan Ayat Mujmal (umum):
misalnya, Al Qur'an mewajibkan wudhu bagi orang yang akan sholat. Hadits menjelaskan rincian wudhu, bilangan membasuh dan batas-batas membasuh.
2. Membatasi Yang Mutlaq:
Misalnya Al Qur'an menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Hadits menjelaskan tentang batasan nilai barang yang dicuri yang menyebabkan terjadinya hukum potong tangan.
3. Mentakhshish atau mempertegas kalimat 'am (kalimat umum)
Misalnya Al Qur'an menjelaskan tentang waris dan orang-orang yang berhak mendapat warisan. Hadits memberi pengecualian bagi orang yang membunuh tidak berhak mendapat waris.

# Bayan Taqrir:
Menjelaskan ketetapan hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an. Misalnya, menjelaskan wajibnya wudhu bagi orang yang akan shslat sebagaimana Al Qur'an telah menjelaskan demikian.

# Bayan Tasyri':
Menetapkan ketetapan hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Misalnya, menetapkan hukum bagi pelaku zina muhshon (orang yang telah berkeluarga).



Istilah-Istilah Ilmu Hadist

1. Hadits, Atsar dan Matan

Ashal arti hadits ialah omongan, perkataan, ucapan dan sebangsanya. Ghalibnya terpakai untuk perkataan Nabi SAW. Jika disebut hadits Nabi, maka maksudnya adalah sabda Nabi SAW. Misalnya disebut hadits Anas, maka maksudnya ialah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Anas. Sering juga dikatakan Hadits Bukhari, maka maksudnya ialah Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitabnya. Ada pun lafazh hadits yang diucapkan oleh Nabi SAW dinamakan matan hadits atau isi hadits. Sedang Atsar ialah perkataan sahabat sebagaimana hadits perkataan Nabi SAW, namun diucapkan oleh sahabat Nabi SAW, terkadang omongan dari sahabat dikatakan riwayat.

2. Gambaran sanad

Sabda Nabi SAW didengar oleh sahabat (seorang atau lebih), kemudian mereka (sahabat) sampaikan kepada tabi’in (seorang atau lebih). Kemudian tabi’in sampaikan kepada orang-orang generasi berikutnya. Demikianlah seterusnya, hingga dicatat hadits-hadits tersebut oleh Imam-Imam ahli hadits, seperti Malik, Ahmad, Bukhari , Muslim, Abu Dawud, dan lain-lain. Demikian inilah gambaran sanad.
Contohnya, ketika meriwayatkan hadits Nabi SAW, Bukhari berkata bahwa hadits ini disampaikan kepada saya melalui seseorang, namanya A. Dan A berkata, disampaikan kepada saya dari B. B berkata, disampaikan kepada saya dari C, dan seterusnya sampai G (misalnya). G berkata bahwa diucapkan kepada saya dari Nabi SAW.
Maka menurut contoh ini, antara Nabi SAW dan Bukhari sanadnya ada 7 orang (A - G). Tentu dalam sebuah sanad, tidak selalu ada 7 orang perantara, karena bisa kurang dan bisa lebih, di atas tadi sekedar contoh.

3. Rawi, Sanad dan Mudawwin

Tiap-tiap orang dari A sampai G yang tersebut pada contoh diatas dinamakan Rawi, yakni yang meriwayatkan hadits. Adapun kumpulan rawi-rawi tersebut dinamakan Sanad, yakni sandaran, jembatan, titian, atau jalan yang menyampaikan sesuatu hadits kepada kita. Sanad terkadang disebut juga isnad. Adapun Mudawwin artinya pembuku, pencatat, pendaftar, yaitu orang alim yang mencatat/membukukan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam, seperti : Malik, Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dll.

4. Shahabi (Shahabat) dan tabi’i

G yang mendengar hadits dari Nabi SAW seperti contoh nomor 2 tersebut adalah sahabi (sahabat), dan F yang mendengar hadits dari G dan tidak berjumpa dengan Nabi SAW disebut tabi’i.

5. Awal dan akhir sanad

Menurut para ahli hadits, ada awal dan akhir dalam sebuah sanad. Awal sanad adalah A dan akhir sanad adalah G. Jadi, orang yang memberitahu mudawwin (Bukhari, Muslim, dll) dinamakan awal sanad, dan G adalah akhir sanad.

6. Sifat-sifat Rawi

Tiap-tiap orang dari rawi sebuah hadits haruslah mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
a. Bukan pendusta
b. Tidak dituduh sebagai pendusta
c. Tidak banyak salahnya
d. Tidak kurang ketelitiannya
e. Bukan fasiq
f. Bukan orang yg banyak keraguan
g. Bukan ahli bid’ah
h. Kuat hafalannya
i. Tidak sering menyalahi rawi-rawi yang kuat
j. Terkenal (dikenal oleh sedikitnya 2 orang ahli hadits di jamannya)

7. Bagaimana mengetahui sifat-sifat rawi ?

Setiap rawi haruslah dikenal oleh sedikitnya 2 orang ahli hadits di zamannya masing-masing. Sifat masing-masing rawi pun hendaknya diterangkan oleh ahli hadits di masing-masing masanya. Semua rawi-rawi hadits dari zaman Nabi SAW hingga zamannya mudawwin dicatat para Imam ahli hadits di zamannya masing-masing dan telah ada di kitab-kitab mereka dari zaman sahabi hingga zaman tabi’i dan generasi dibawahnya. Tiap ulama ahli hadits di suatu masa telah mencatat tarikh lahir dan wafat para rawi tersebut agar diketahui oleh orang-orang di bawah mereka. Tidak seorangpun dari rawi-rawi hadits yg terluput dari catatan para ulama hadits.
Rawi yang tidak ada catatannya dinamakan majhul (tidak terkenal). Rawi-rawi yang majhul tidak diterima hadits yang diriwayatkan oleh mereka.
Diantara kitab yang menerangkan tarikh para rawi adalah sebagai berikut :
01. Tahdzibuttahdzib (Ibn Hajar) - 12.460 nama rawi
02. Lisanul mizan (Ibn Hajar) - 15.343 nama rawi
03. Mizanul I’tidal (Adzdzahabi) - 10.907 nama rawi
04. Al-I shabah (Ibn Hajar) - 11.279 nama sahabat
05. Usudul Ghobah (Ibn Al Atsir) - 7.500 nama sahabat
06. Attarikhul khabir (Imam Bukhari) - 9.048 nama rawi
07. Al Fihrist (Ibnun Nadim)
08. Al Badruththoli’ (As Syaukani) - 441 nama rawi
09. Al Jarh wa atta’dil (Ibn Abi Hatim) - 18.040 nama rawi
10. Ad Durarul Kaminah (Ibn Hajar) - 5.320 nama rawi
11. Dan lain-lain.

8. Marfu’

Satu hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW oleh seorang rawi hingga sampai kepada ulama Mudawwin (Bukhari, muslim, dll) dinamakan hadits Marfu’, yaitu hadits yang riwayatnya sampai kepada Nabi SAW. Bila ada seorang ahli hadits mengatakan bahwa “hadits itu dirafa’kan oleh seorang sahabi”, misalnya Ibn Umar, maka maksudnya ialah Ibn Umar meriwayatkan hadits tersebut dari Nabi SAW, dan bukan dari fatwanya sendiri. Jika ada di kitab-kitab para ahli hadits “rafa’kan suatu hadits”, maka maksudnya untuk menunjukkan bahwa sanadnya sampai kepada Nabi SAW, dan bukan hanya sampai sahabat saja. Dan bila ada perkataan “tidak sah rafa’ nya”, maka sanadnya hanya sampai kepada sahabat saja.

9. Maushul

Hadits yang sanadnya sampai kepada Nabi SAW dan tidak putus dinamakan maushul
(muttashilus-sanad), yaitu bersambung (tidak putus sanadnya). Perkataan maushul ini juga dipakai dapat juga untuk sanad atau riwayat atau atsar sahabat atau tabi’in yang tidak putus.

10. Mauquf

Perkataan sahabat atau anggapan sahabat yang diriwayatkan kepada kita, dinamakan mauquf, yaitu sanadnya terhenti sampai sahabat saja (tidak sampai ke Nabi SAW). Perkataan ulama misalnya bahwa hadits itu diwaqafkan oleh Tirmidzi, maka artinya bahwa Tirmidzi membawakan sanad yang hanya sampai kepada sahabat. Bila ada ulama yang mengatakan ‘mauqufnya lebih rajih’, maka artinya adalah hadits tersebut masih diperdebatkan sanadnya apakah ia marfu’ atau mauquf, namun yang lebih rajih (berat) adalah mauqufnya.

11. Mursal

Apabila ada seorang tabi’i yang pastinya tidak bertemu Nabi SAW berkata :”telah bersabda Nabi SAW…”, maka apa yang diriwayatkan ini dinamakan hadits mursal, karena hadits tersebut dilangsungkan kepada Nabi SAW tanpa melalui perantara para sahabat.

12. Syahid dan mutabi’

Jika ada sebuah hadits, misalnya yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, namun ditemukan juga hadits lain yang maknanya sama namun diriwayatkan oleh sahabat yang lain, maka hadis ini dinamakan syahid (penyaksi). Namun bila ada sanad lain yang juga diriwayatkan oleh Ibn Abbas, maka hadits ini dinamakan mutabi’ (yang mengikuti/pengiring)

13. Maqthu’

Hadits yang sanadnya hanya sampai kepada tabi’i atau yang dibawahnya, dinamakan hadis Maqthu’.

14. Munqathi’ dan Mu’dhal

Di dalam satu sanad, jika gugur nama seorang rawi, selain sahabat, atau gugur dua orang rawi yang tidak berdekatan (maksudnya gugurnya dalam sebuah sanad berselang), maka sanad tersebut dinamakan munqathi’. Dan jika yang gugur adalah dua orang rawi yang berdekatan (tidak berselang), maka dinamakan Mu’dhal.

15. Mudhtharib

Sebuah hadits yang dibawakan oleh seorang perawi dengan satu rangkaian/sanad, namun dia bawakan juga dengan sanad lain namun dengan makna yang berbeda. Atau dia bawakan sebuah hadits dengan satu sanad, namun dia bawakan juga hadits tersebut dengan sanad yang sama, namun dengan perubahan lafazh. Sehingga tidak dapat diputuskan mana yang harus digunakan. Ini adalah hadits mudhtharib, artinya guncang, lantaran tidak tetap.

16. Maqlub

Maqlub artinya dibalik atau terbalik. Misalnya, sebuah hadits berbunyi :”tangan dulu baru lutut”, sementara diriwayatkan oleh orang lain :”lutut dulu baru tangan”. Oleh karena terbaliknya di matan hadits, maka disebut maqlub fil matan.
Dan bila dalam sebuah sanad ditemukan nama misalnya Muhammad bin Ali, namun dalam hadits yang sama ditemukan nama Ali bin Muhammad, maka ini disebut maqlub fil sanad.

17. Mudraj

Diantara lafazh-lafazh hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW, jika ditemukan terdapat tambahan-tambahan dengan maksud untuk menerangkan, tapi terbukti bukan berasal dari Nabi SAW, maka tambahan ini dinamakan mudraj. Sementara pekerjaan menyelipkannya dinamakan Idraj. Idraj dalam matan disebut idraj fil matani. Dan Idraj dalam sanad disebut idraj fil sanad.

18. Ma’lul, Mu’allal, Mu’tal

Yaitu hadits yang terdapat didalamnya cacat yang tersembunyi (Bukan cacat biasa seperti pada point nomor 6 diatas), cacat ini hanya dapat dibuktikan dengan ketelitian, dan tidak diketahui selain oleh orang yang benar-benar ahli hadits. Cacat tersebut dinamakan ‘illat, artinya penyakit.

19. Mu’allaq

Yaitu hadits yang diriwayatkan tanpa memakai sanad. Misalnya, “Rasulullah SAW bersabda…” atau “Diriwayatkan dari Ibn Umar dari Rasulullah SAW…” atau Bukhari meriwayatkan hadits Rasulullah SAW…”. Hadits mu’allaq ini kadang tidak disebut sanadnya oleh seorang ahli hadits karena hendak meringkasnya, padahal sanadnya ada.

20. Maudhlu’ dan matruk

Hadits yang didalam sanadnya terdapat seorang pendusta dinamakan hadits maudhlu. Atau hadits yang dibuat oleh seseorang, namun dikatakan dari Nabi SAW. Sedang hadits yg didalam sanadnya terdapat seseorang yg dituduh sebagai pendusta dinamakan matruk. Orang yang tertuduh juga dikatakan matruk, artinya yang ditinggalkan /diabaikan.

21. Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Yang dikatakan sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam itu terdiri dari 3 perkara, yaitu : Sabdanya, Perbuatannya dan Perbuatan atau perkataan orang lain yang dibiarkannya. Inilah yang disebut qauluhu, fi’luhu dan wataqriruhu.

22. Mahfuzh dan syaadz

Jika diriwayatkan dua hadits shahih dari Nabi SAW yang seolah-olah artinya berlawanan, maka yang lebih kuat dinamakan mahfuzh dan yang kurang kuat dinamakan syaadz.

23. Ma’ruf dan munkar

Jika diriwayatkan dua hadits lemah dari Nabi SAW yang artinya berlawanan, maka yang lemah dinamakan ma’ruf, sementara yang lebih lemah lagi dinamakan munkar.

24. Mutawatir, Masyhur, ‘Aziz dan Ahad

Hadits mutawatir adalah hadits yang memiliki banyak sanadnya (biasanya lebih dari 3). Hadits Masyhur adalah hadits yang memiliki sekurang-kurangnya 3 sanad).
Hadits ‘aziz adalah hadits yang memiliki sekurang-kurangnya 2 sanad. Sedang Hadits Ahad adalah hadits yang hanya memiliki 1 sanad.

25. Hadits Qudsi

Yaitu firman Allah SWT yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an. Diriwayatkan oleh Nabi SAW namun tidak dimasukkan dalam Al-Qur’an. Dalam hadits qudsi pun juga dikenal istilah shahih, dha’if dan lain-lain.

26. Dha’if

Yaitu sebuah hadits yang tidak dapat memenuhi syarat-syarat hadits shahih, juga hadits hasan. Hadits menjadi dha’if umunya dikarenakan ketidaksesuaian yang terdapat di dalam sanad dan matannya.

27. Shahih dan hasan

Yaitu hadits yang seluruh rawi dalam sanadnya sudah memenuhi syarat seperti tercantum di point 6 diatas. Hadits shahih wajib digunakan sebagai dasar hukum dan amal. Beberapa hadits shahih walaupun kelihatan seperti bertentangan, namun bila diteliti akan ditemukan persamaannya, karena tidak mungkin ada 2 hadits shahih yang bertentangan. Dan, hadits shahih tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur ‘an. Karena tidak mungkin sebuah hadits sanadnya shahih, tapi matannya buruk.

28. Sifat rawi yang lemah

Sebuah hadits tidak akan dianggap shahih bila didalam sanadnya terdapat seorang rawi yang lemah.
Sifat-sifat lemah tersebut antara lain :
1. Pendusta, pembohong
2. pemalsu
3. lembek
4. jelek hafalannya/pelupa
5. munafiq
6. dan lain-lain

29. Musnad dan sunan

Sebuah kitab yang urutan penulisannya berdasarkan perawi, maka disebut kitab musnad. Misalnya Kitab musnad Ahmad, maka sistematika penulisannya berdasarkan pasal perawi, misalnya Pasal Ibn Abbas, Pasal Ibn Umar, dst. Sementara, kitab yang yang urutannya didasarkan pada fiqh, maka disebut kitab sunan. Misalnya kitab sunan Abu dawud, maka sistematika penulisannya berdasarkan ilmu fiqh, misalnya thaharah, shalat, jinayah, dst.

30. Al Hadits, Al Khabar, Al Atsar

Kebanyakan para muhaditsin berpendapat bahwa istilah al-hadits, al-khabar, al-atsar, dan as-sunnah adalah sinonim, meskipun di sana-sini ada ulama yang membedakannya, namun perbedaan itu tidaklah prinsipil. Misalnya, ada suatu pendapat yang membedakan bahwa pengertian al-hadits itu hanya terbatas pada apa yang datang dari Nabi Muhammad saw. saja, sedang al-khabar terbatas pada apa yang datang dari selainnya. Karena itu, orang yang tekun kepada ilmu hadis saja disebut dengan muhaddits, sedang orang yg tekun kepada khabar disebut dengan akhbari.
Ada pula pendapat yang membedakannya dari segi umum dan khusus muthlaq, yakni tiap-tiap hadits itu khabar, tetapi sebaliknya bahwa tiap-tiap khabar itu dapat dikatakan hadits. Di samping ada pendapat yang mengatakan bahwa atsar itu ialah yg datang dari sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudahnya, juga ada pendapat yag mengatakan bahwa istilah atsar itu lebih umum penggunaannya daripada istilah hadits dan khabar. Karena, istilah atsar itu mencakup segala berita dan perilaku para sahabat, tabi’in, dan selainnya. Pada umumnya para muhadditsin memperkuat alasannya tentang persamaan keempat istilah tersebut dengan mengemukakan persesuaian maksud dalam pemakaiannya. Misalnya, istilah khabar mutawatir dipakai juga untuk hadits mutawatir, haditsun nabawi untuk sunnatun nabawi, dan ahli hadits maupun ahli khabar juga disebut dengan ahli atsar (al-atsari).

31. Makna Mudallas dan Mudallis

Mudallas adalah hadits yang disembunyikan cacatnya. Maksudnya, hadits yang diriwayatkan melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Maka hadits mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya. Sedangkan pelakunya disebut mudallis.
Ada tiga macam jenis hadits mudallas, yaitu mudallas isnad, mudallas syuyukh dan mudallas taswiyah.
a. Mudallas Isnad
Misalnya seorang muhaddits menyembunyikan nama gurunya yang merupakan satu di antara perawi dalam rangkaian sanad, lalu langsung menyebutkan perawi yang lebih atas dari gurunya. Namun adanya lompatan jalur periwatan ini disembunyikan sedemikian rupa, bahkan dengan tetap memakai ungkapan yang memberikan pengertian kepada si pendengar bahwa hal itu dinukilnya secara langsung. Misalnya, suatu hadits diriwayatkan oleh A dari B dari C dan dari D. A tahu bahwa gurunya, B adalah perawi yang lemah. Bila dicantumkan dalam hadits yang diriwayatkannya, pastilah hadits itu tidak akan diterima orang lain. Maka A menyembunyikan keberadaan B dan langsung mengatakan bahwa dia mendengar dari C. Padahal A tidak pernah bertemu atau meriwayatkan langsung dari C. Meski A tahu bahwa C itu ‘adil dan dhabith, namun karena A tidak pernah mendengar langsung dari C kecuali lewat B, maka A berbohong dan mengaku mendengar langsung dari C dan menghapus B dari daftar perawinya.
b. Mudallas Syuyukh
Trik lainnya untuk mengelabuhi adalah dengan tidak menghilangkan nama gurunya, tetapi gurunya itu digambarkan dengan sifat yang tidak dikenal oleh umumya kalangan ahli hadits. Misalnya, A tetap mengatakan bahwa dia meriwayatkan hadits dari B dan dari C dan dari D. Karena A tahu bahwa B itu perawi yang lemah dan kalau disebutkan secara jelas identitas B akan membuat hadits itu jadi lemah, maka A tidak secara tegas menyebutkan identitas B dengan nama yang sudah dikenal kalangan ahli hadits. Misalnya A menyebut nama julukan lain yang sebenarnya mengacu kepada B, tapi orang lain tidak tahu bahwa yang dimaksud oleh A dengan julukan itu sebenarnya adalah B.
c. Mudallas Taswiyah
Trik ini adalah menggugurkan seorang perawi dha’if di antara dua orang perawi yang tsiqah.

Tambahan :
Apakah Al-Hasan Al-Bashri Mudallas ?
Sedangkan masalah Al-Hasan Al-Bashri yang dianggap mudallas oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar, memang telah terjadi polemik besar di kalangan ulama hadits. Namun mudallasnya Al-Hasan Al-Bashri tidak bisa disamakan dengan mudallas umumnya. Sebab beliau termasuk min kibarit-tabi’in, yaitu tabi’in yang senior. Sebagian orang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan Umar bin Al-Khattab dan mendengar khutbahnya.
Adapun ‘an’anah yang disebutkan oleh beliau, memang benar. Maksudnya, Al-Hasan Al-Basri memang melakukan tadlis bila dilihat secara zahir definisi tadlis, tapi sebenarnya bukan termasuk tadlis yang parah atau fatal. Boleh dibilang tadlis khofiy. Hal itu karena beberapa alasan :
* Al-Hasan Al-Basri boleh jadi tidak bertemu langsung dengan Abi Bakrah yang shahabi itu. Dan memang beliau tidak menyebut riwayatnya dengan sami’tu atau hadda tsana. Namun beliau mendapatkan ijazah dari shahabat nabi itu berupa hadits dalam bentuk tulisan. Sehingga masih termasuk tahammul hadits menurut para ahli hadits.
* Yang beliau tadlis adalah perawi yang hidup sezaman dengan shahabat nabi. Mereka hidup sezaman dan sangat mungkin bertemu langsung.
* Kalau seandainya apa yang dilakukan oleh Al-Hasan itu adalah penipuan, seharusnya Al-Bukhari tidak memasukkannya ke dalam kita shahihnya. Tapi kita tahu bahwa di dalam shahih Bukhari ada beberapa hadits yang mu’an’an, tapi tetap dianggap shahih dan sanadnya bersambung.
* Di dalam lain riwayat, Al-Hasan juga pernah menyebut dengan sami’tu atau hadda tsana dari Abi Bakrah. Dan sekali saja beliau menyebutnya, maka meski pada hadits lain tidak menyebutkan lafadz itu dan hanya mu’an’an saja, tetapi secara sanad tetap masih dianggap sanadnya bersambung.
Wallahu a’lam bishshawab.

SEJARAH PEMBUKUAN HADIS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Hampir semua orang Islam sepakat akan pentingnya peranan hadis dalam berbagai disiplin keilmuan Islam seperti tafsir, fiqh, teologi,  akhlaq dan lain sebagainya. Sebab secara struktural hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, dan secara fungsional hadis dapat berfungsi sebagai penjelas (baya>n) terhadap ayat-ayat yang mujmal atau global.   Hal itu dikuatkan dengan berbagai pernyataan yang gamblang dalam al-Qur’an itu sendiri yang menunjukkan pentingnya merujuk kepada hadis Nabi, misalnya Q.S> al-Ahzab  [33]: 21,  36, al-Hasyr [59]:  7.
Akan tetapi ternyata secara historis,  perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika, al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka  tidak demikian halnya dengan Hadis Nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Bahkan dalam kitab kitab hadis, terdapat adanya pelarangan penulisan hadis. Hal itu tentunya mempunyai impliksi-implikasi tersendiri bagi transformasi hadis, terutam pada zaman Nabi.
Berita tentang prilaku Nabi Muhammad (sabda, perbuatan, sikap ) didapat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan. Kemudian berita itu disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabi’in (satu generasi dibawah sahabat) . Berita itu kemudian disampaikan lagi ke murid-murid dari generasi selanjutnya lagi yaitu para tabi’ut tabi’in dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadist (mudawwin).Pada masa Sang Nabi masih hidup, Hadits belum ditulis dan berada dalam benak atau hapalan para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.
Diantara sahabat tidak semua bergaulnya dengan Nabi. Ada yang sering menyertai, ada yang beberapa kali saja bertemu Nabi. Oleh sebab itu Al Hadits yang dimiliki sahabat itu tidak selalu sama banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula ketelitiannya. Namun demikian diantara para sahabat itu sering bertukar berita (Hadist) sehingga prilaku Nabi Muhammad banyak yang diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada waktu Nabi Muhammad masih hidup.Dengan demikian pelaksanaan Al Hadist dikalangan umat Islam saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Al Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat Islam dimasa Nabi Muhammad hidup ini oleh ahli Hadist disebut sebagai Sunnah Muttaba’ah Ma’rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran Al Hadist.
1.2.  Rumusan Masalah
  • Bagaimana Proses transformasi hadits dari rasulullh kepada sahabat
    • Bagaimana sejarah pembukuan Hadits
    • Bagaimana kritik tentang sejarah pembukuan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Transformasi Hadis Dari rasulullah Kepada Sahabat
Sejarah hadsis memulai periodisasi sejarah perkembangan hadis pada saat awal kenabian itu juga,  walaupun informasi yang dimuat adalah informasi-informasi sebelumnya. Sehingga yang dimaksud dengan masa Nabi adalah masa diturunkannya al-Qur’an dari Allah SWT dan masa disampaikannya hadis oleh Nabi SAW.
Bagaimana suasana keilmuan di awal Islam, mungkin inilah pijakan pertama yang harus dilihat untuk mengetahui perjalanan hadis pada masa Nabi. Sejarah menginformasikan bahwa pada awal Islam tersebut sudah ada kebiasaan tulis menulis. Hal ini ditunjukkan oleh adanya penulisan wahyu dan berbagai bentuk tulis menulis untuk keperluan administrasi negara. Setelah hijrah serta kondisi negara sudah stabil terbukalah orientasi umat Islam untuk mempelajari al-Qur’an dan ilmu pengetahuan lainnya, melalui tradisi membaca dan menulis. Bahkan perang Badar mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan kemampuan baca tulis saat itu, karena para tawanan perang akan mendapatkan kebebasan dari Nabi, bila mau mengajar sepuluh anak Madinah untuk membaca dan menulis.
Kemudian berkembanglah kajian-kajian ilmu dan menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Ini dibuktikan dengan ditemukannya berbagai tempat-tempat pertemuan dan tempat kajian yang muncul di akhir abad pertama, yang menunjukkan akan adanya kebangkitan ilmiah.  Perkembangan ilmiah tersebut bersamaan dengan usaha-usaha Nabi SAW dalam menyebarkan sunnah, diantaranya dengan cara:
  • Mendirikan sekolah di Madinah segera setelah kedatangannya di sana dan setelah itu mengirimkan guru dan khatib ke berbagai wilayah luar Madinah.
  • Ø Memberikan perintah misalnya, “Sampaikanlah pengetahuan dariku walaupun hanya satu ayat”. Tekanan yang sama dapat dilihat dalam pidatonya dalam haji Wada’, “Yang hadir di sini hendaklah menyampaikan amanat ini kepada yang tidak hadir”.
Di samping itu, Rasulullah  juga menyuruh kepada delegasi yang datang ke Madinah untuk mengajari kaumnya setelah kembali ke daerahnya. Selain itu, beliau juga memberikan rangsangan kepada pengajar dan penuntut ilmu misalnya: ganjaran untuk penuntut ilmu dan pengajar serta ancaman pada orang yang menolak terlibat dalam proses pendidikan.
Dari data historis ini dapat dilihat bahwa pada awal Islam memang kemampuan baca tulis umat Islam masih rendah. Oleh karenanya hal ini juga menjadi fokus perjuangan Nabi SAW  untuk mencerdaskan kehidupan umatnya. Dan berkat upaya-upaya yang dirintis oleh beliau, pada periode-periode berikutnya umat Islam memperoleh kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini tentu saja sedikit banyak juga mempunyai implikasi terhadap perjalanan transformasi hadis pada masa itu, yaitu bagaimana mereka melestarikan ajaran-ajaran Nabi SAW yang notabenya merupakan tafsir  praktis terhadap al-Qur’an, melalui seluruh aspek kehidupannya.
Di samping itu,  Rasul Ja’fariyan dalam penelitiannya menemukan bahwa tradisi penulisan hadis di kalangan Syi’ah mendahului fatwa tentang penulisan hadis yang diberikan oleh para Imam belakangan kepada para sahabat mereka. Penulisan hadis merupakan tradisi yang telah dimulai pada masa Nabi dan dikokohkan oleh Ali.   Misalnya, Muhammad Ibn Muslim, seorang sahabat Imam al-Baqir, berkata: “Abu Ja’far membacakan kepada saya “Kitab al-Fara’id} yang didektekan oleh Nabi,  dan ditulis oleh Ali ra.
Namun demikian, hal ini  tidak berarti hadis Nabi  telah terhimpun secara keseluruhan dalam catatan para sahabat tersebut. Karena hadis tidak dilakukan pencatatan (secara resmi) sebagaimana al-Qur’an, sehingga sahabat sebagai individu tidak mungkin mampu menjadi wakil dalam merekam seluruh aspek kehidupan Nabi SAW. Dengan kata lain, oleh karena hadis itu meliputi segala ucapan, tindakan, pembiaran (taqrir), keadaan, kebiasaan dan hal ihwal Nabi Muhammad.  maka yang demikian ini tidak selalu terjadi di hadapan orang banyak.
Dari keterangan di atas tampak bahwa tradisi penulisan hadis sebenarnya sudah ada sejak masa Nabi saw. Namun ada kemungkinan bahwa sebagian hadis yang belum tercatat saat itu,  dan baru dicatat masa sesudahnya lewat hafalan-hafalan penghafal hadis. Bahkan ada kemungkinan juga ada aspek-aspek kehidupan Nabi yang tidak bisa direkam sampai saat ini. Dengan demikian fase ini merupakan fase dimana penulisan hadis belum menjadi praktek yang merata.
Hadis pada masa Nabi memang belum diupayakan penghimpunannya dan tidak ditulis secara resmi sebagaimana al-Qur’an pada masa Nabi SAW. Hal ini tentu ada sebab-sebab yang melatarbelakannginya. Paling tidak ada beberapa faktor mengapa hadis Nabi waktu itu tidak secara resmi ditulis, Pertama,  masa itu tradisi keilmuan (baca tulis) belum menjadi praktek yang merata dan masih dalam tahap diupayakan perkembangannya.
Lalu bagaimana bentuk transformasi hadis pada zaman Nabi ?  Syuhudi Ismail dalam bukunya Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, menyimpulkan bahwa bentuk transformasi hadis antara lain melalui
ü  lisan di muka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki
ü   pengajian  rutin di kalangan laki-laki
ü  pengajian khusus yang diadakan di kalangan kaum perempuan, setelah mereka memintanya dan lain sebagainya .
Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
Hadis atau sunah adalah sumber hukum Islam yang kedua yang merupakan landasan dan pedoman dalam kehidupan umat Islam setelah Al Qur’an, Karena itu perhatian kepada hadis yang diterima dari Muhammad SAW dilakukan dengan cara memahami dan menyampaikannya kepada orang yang belum mengetahuinya. Perhatian semacam ini sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup. Namun pada saat itu para perawi hadis sangat berhati-hati dalam menerima maupun meriwayatkan hadis dan menjaga kemurniannya. Pada zaman Rasulullah para sahabatlah yang meriwayatkan hadis yang pertama. Para sahabat adalah penerima hadis langsung dari Muhammad SAW baik yang sifatnya pelajaran maupun jawaban atas masalah yang dihadapi. Pada masa ini para sahabat umumnya tidak melakukan penulisan terhadap hadis yang diterima. Kalaupun ada, jumlahnya sangat tidak berarti. Hal ini di sebabkan antara lain;
a. Khawatir tulisan hadis itu bercampur dengan tulisan .Al-Qur’un.
b. Menghindarkan umat menyandarkan ajaran Islam kepada hadis saja.
c. Khawatir dalam meriwayatkan hadis salah, dan tidak sesuai dengan yang disampaikan
Nabi Muhammad SAW.
Meskipun demikian, hadits Nabi saw tetap dihafal dan diriwayatkan oleh para Shahabat ra , karena Nabi saw bersabda
:

“Semoga Alloh menjadikan putih cemerlang seseorang yang mendengar sebuah hadits dari kami, kemudian menghafalkan dan menyampaikannya karena mungkin saja terjadi orang membawa ilmu kepada orang yang lebih faham darinya, dan mungkin terjadi orang yang membawa ilmu tidak faham tentang ilmunya itu.( HSR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, danAl-Hakim )
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ     مِنْهُ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ Hadis pada masa Khutafaur Rasyidin
Setelah Rasulullah SAW wafat para sahabat mulai menebarkan hadis kepada kaum muslimin melalui tabligh.Nabi Muhammad SAW bersadba; yang Artinya;
Sampaikanlah dari padaku, walaupun hanya satu ayat.’
Di samping itu Rasulullah berpesan kepada para sahabat agar berhati-hati dan memeriksa suatu kebenaran hadis yang hendak disampaikan kepada kaum muslimin. Ketika itu para sahabat tidak lagi berdiam hanya di Madinah. Tetapi meyebar ke kota-kota lain. Pada masa Abu Bakar dan Umar, hadis belum meluas kepada masyarakat. Karena para sahabat lebih mengutamakan mengembangkan A1 Qur’an
Ada dua cara meriwayatkan hadis pada masa sahabat:
a. Dengan lafal aslinya, sesuai dengan yang dilafalkan oleh Nabi Muhammad SAW.
b. Dengan maknanya, bukan lafalnya karena mereka tidak hafal lafalnya.
Cara yang kedua ini rnenimbulkan bermacam-macam lafal (matan), tetapi maksud dan isinya tetap sama. Hal ini mmbuka kesempatan kepada sahabat-sahabat yang dekat dengan Rasulullah SAW untuk mengembangkan hadis, walaupun mereka tersebar ke kota-kota lain.
Masa pembukuan hadis pada masa Umar bin Abdul Aziz
Ide pembukuan hadis pertama-tama dicetuskan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz pada awal abad ke 2 hijriyah. Sebagai Khalifah pada masa itu beliau memandang perlu untuk membukukan hadis. Karena ia meyadari bahwa para perawi hadis makin lama semakin banyak yang meninggal. Apabil hadis-hadis tersebut tidak dibukukan maka di khawatirkan akan lenyap dari permukaan bumi. Di samping itu, timbulnya berbagai golongan yang bertikai daIam persoalan kekhalifahan menyebabkan adanya kelompok yang membuat hadis palsu untuk memperkuat pendapatnya. Sebagai penulis hadis yang pertama dan terkenal pada saat itu ialah Abu Bakar Muhammad ibnu MusIimin Ibnu Syihab Az Zuhry.
Pentingnya pembukuan hadis tersebut mengundang para ulama untuk ikut serta berperan dalam meneliti dan menyeleksi dengan cermatl kebenaran hadis-hadis. Dan penulisan hadis pada abad II H ini belum ada pemisahan antara hadis Nabi dengan ucapan sahabat maupun fatwa ulama. Kitab yang terkenal pada masa itu ialalah Al Muwatta karya imam Malik.
Pada abad III H, penulisan dilakukan dengan mulai memisahkan antara hadis, ucapan rnaupun fatwa bahkan ada pula yang memisahkan antara hadis shahih dan bukan shahih. Pada abad IV H, yang merupakan akhir penulisan hadis, kebanyakan bukti hadis itu hanya merupakan penjelasan ringkas dan pengelompokan hadis-hadis sebelumnya.
Sejarah Penulisan Hadits
Hadits Nabi saw memang belum ditulis secara umum pada zaman Nabi saw masih hidup, karena ketika itu Al-Qur’an masih dalam proses diturunkan dan diurutkan. Bahkan Nabi saw melarang masyarakat umum dari menulis hadits, sebagaimana sabdanya : لا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَ حَدِّثُوْا عَنِّيْ وَ لا حَرَجَ
وَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Janganlah kalian menulis sesuatu pun dariku, barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah dia menghapusnya, dan beritakanlah hadits dariku, yang demikian tidak berdosa, namun barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari api neraka.” ( HR. Muslim )

Walaupun demikian, Nabi saw memberikan izin kepada orang-orang tertentu untuk menulis hadits yang diyakini tidak akan terjadi tercampurnya tulisan Al-Qur’an dengan tulisan hadits pada mereka. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat : فَقَامَ أَبُو شَاهٍ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ : اكْتُبُوْا لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : اكْتُبُوْا لأَبِيْ شَاهٍ
“Berdirilah Abu Syah, yakni seorang laki-laki dari penduduk Yaman, dia berkata : “Tuliskan untukku, wahai Rosullulloh !” Maka Rosululloh saw bersabda : “Tuliskan untuk Abu Syah !” ( HR. Al-Bukhori dan Abu Dawud )

Demikianlah usaha penulisan hadis pada masa khaIifah Umar bin Abdui Aziz yang selanjutnya disempurnakan oleh utama dari masa dan ke masa dan mencapai puncaknya pada akhir abad IV H.
Masa penggalian hadis
Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai Al Hadits karena sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran Nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai Al Hadist ataupun Al Quran. Dan diantara mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 – 23 H atau 634 – 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu bertukar Al Hadist.
Kemudian para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian Al Hadits dari sumbernya ialah para sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabi’in. Meski memerlukan perjalanan jauh tidak segan-segan para tabi’in ini berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki Al Hadist yang sangat diperlukannya. Maka para tabi’in mulai banyak memiliki Al Hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meski begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah Al Hadist belum ditulis apalagi dibukukan.
Masa penghimpunan al hadis
Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan diantara sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari’at dan Aqidah dengan membuat Al Hadist Maudlu’ (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan / perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Al Quran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.
Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para tabi’in mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi menerima Al Hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para shabat kecil dan tabi’in ini sangat berhat-hati sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita Al Hadist. Misal apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabi’ut tabi’in.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 – 101 H / 717 – 720 M) termasuk angkatan tabi’in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun Al Hadist dari para tabi’in yang terkenal memiliki banyak Al Hadist. Seorang tabi’in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 – 124 H / 671 – 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu beliau Az Zuhri menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja)
2.2 Masa pendiwanan dan penyusunan al hadis
Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku Al Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan Al Hadits dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan pengelompokan Al Hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana Al Hadits yang marfu’, mauquf dan maqtu’. Al Hadits marfu’ ialah Al Hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, Al Hadits mauquf ialah Al Hadits yang berisi perilaku sahabat dan Al Hadits maqthu’ ialah Al Hadits yang berisi perilaku tabi’in. Pengelompokan tersebut diantaranya dilakukan oleh :
ü  Ahmad bin Hambal
ü  ‘Abdullan bin Musa Al ‘Abasi Al Kufi
ü  Musaddad Al Bashri
ü  Nu’am bin Hammad Al Khuza’i
ü  ‘Utsman bin Abi Syu’bah
Yang paling mendapat perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 Al Hadits, 10.000 diantaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Ahmad sendiri maka tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad sendiri yang bernama ‘Abdullah dan Abu Bakr Qathi’i sehingga tidak sedikit termuat dengan yang dla’if dan 4 hadist maudlu’.
Adapun pendiwanan Al Hadits dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang mempelopori usaha ini adalah :
Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M)
Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan juga ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan kitab Al Hadits terwujud dalam kitab Al Jami’ush Shahih Bukhari, Al Jamush Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana terdapat dalamdaftar kitab masa abad 3 hijriyah.
Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah telah diusahakannya untuk memisahkan Al Hadits yang shahih dari Al Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam Al Hadits, yaitu :
  1. Kitab Shahih – (Shahih BukhariShahih Muslim) – berisi Al Hadits yang shahih saja
  2. Kitab Sunan – (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) – menurut sebagian ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi Al Hadit shahih dan Al Hadits dla’if yang tidak munkar.
  3. Kitab Musnad – (Abu Ya’la, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) – berisi berbagai macam Al Hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu hanya berguna bagi para ahli Al Hadits untuk bahan perbandingan.
Apa yang telah dilakukan oleh para ahli Al Hadits abad 3 Hijriyah tidak banyak yang mengeluarkan atau menggali Al Hadits dari sumbernya seperti halnya ahli Al Hadits pada adab 2 Hijriyah. Ahli Al Hadits abad 3 umumnya melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja atas Al Hadits yang telah ada disamping juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa abad 4 hijriyah dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan Al Hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits,menghimpun yang terserakan dan memudahkan mempelajarinya
2.3       Kritik Tentang sejarah Pembukuan Hadits
Demikian salah satu hadis yang menyatakan pelarangan penulisan hadis. Apabila ditinjau dari hadis ini, maka dapat diprediksikan bagaimana implikasinya terhadap penulisan dan pembukuan hadis. Ulama kontemporer seperti Muhammad Syharur, misalnya memaknai larangan hadis tersebut sebagai suatu isyarat bahwa   hadis itu sebenarnya hanyalah merupakan ijtihad Nabi yang syarat dengan situasi sosio-kultural dimana Nabi hidup. Hadis Nabi lebih  merupakan marhalah ta>ri>khiyah, dimana Nabi sangat dipengaruhi oleh situasi sosio-budaya Arab waktu itu, sehingga tidak terlalu penting untuk dibukukan.
Namun demikian, disamping ada hadis yang melarang menulisan hadis sebagaimana dikutip di atas, dalam bagian yang lain ada juga hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan menulis hadis. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Hurairah yang artinya sebagai berikut:
Terhadap dua riwayat yang tampak saling bertentangan tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya. Sebagian menganggap bahwa larangan itu mutlak, tetapi  sebagian ulama yang lain berusaha mengkompromikannya dengan mengembalikan persoalan tersebut kepada empat pendapat:
  • Sebagian ulama menganggap bahwa hadis Abi Said Al-Hudri tersebut Mauquf, maka tidak patut untuk dijadikan alasan, untuk melarang penulisan hadis
  • Larangan penulisan hadis berlaku hanya pada masa awal-awal  Islam, karena dikhawatirkan bercampur dengan al-Qur’an.
  • Dengan adanya larangan penulisan hadis tersebut pada hakekatnya Nabi mempercayai kemampuan para sahabat untuk menghafalkannya, dan Nabi khawatir seseorang akan bergantung pada tulisan, sedang pemberian izin Nabi untuk menulis hadisnya,   pada hakekatnya merupakan isyarat bahwa Nabi tidak percaya kepada orang seperti Abi Syah,  dapat menghafalkannya dengan baik.
  • Larangan  itu bersifat umum, tetapi secara khusus diizinkan kepada orang-orang yang bisa baca tulis dengan baik, tidak salah dalam tulisannya, seperti pada Abdullah bin Umar.
Meskipun para ulama mempunyai perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya penulisan hadis ini, namun nyatanya para sahabat tetap memelihara dan melestarikan hadis Nabi. Hal ini dibuktikan dengan adanya hadis Nabi yang mengatakan: “Riwayatkanlah dari saya. Barang siapa sengaja berbohong atas nama saya maka tempatnya di neraka”. Sehingga apabila menulis hadis menjadi praktek yang dilarang, maka untuk mengantisipasi terjadinya ketidakotentikan hadis ini Nabi juga memberikan peringatan atau ancaman neraka tersebut
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Walaupun diakui hafalan merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan, dan konon orang-orang Arab terkenal mempunyai kekuatan hafalan yang tinggi,  bahkan para penghafal masih banyak yang beranggapan bahwa penulisan hadis tidak diperkenankan, namun ternyata tradisi penulisan hadis sudah dilakukan sejak zaman Nabi.
Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi bukan berarti semua hadis Nabi sudah dibukukan sejak zaman Nabi tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak dibukukannya hadis secara resmi saat itu, sedang sahabat yang menulis hadis itu lebih didorong oleh keinginan dirinya sendiri. Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek kehidupan Nabi tidak ditemukan tanda-tandanya.
Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, di kala beliau tak ada di rumah, dan berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati apa-apa yang diperintahkan Nabi.

MUHAMMAD BIN ABDULLAH BIN WAHAB

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Syeikh al-Islam al Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahah bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Rasyid bin Barid Bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung ‘Uyainah (Najd), Lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Beliau meninggal dunia pada 29 Syawal 1206 H (1793 M) dalam usia 92 tahun, setelah mengabdikan diri selama lebih 46 tahun dalam memangku jabatan sebagai menteri  penerangan kerajaan Arab Saudi.
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab berkembang dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah ketua jabatan agama setempat. Sedangkan datuknya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyrakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama. Oleh karena itu, kita tidaklah heran apabila kelak beliau juga menjadi seorang ulama besar seperti datuknya. Sebagai mesinnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhmmad bin Abdul Wahab sejak masih kanak – kanak telah dididik dan ditempa jiwanya dengan pendididkan agama, yang diajar sendiri  oleh ayahnya, Tuan Syeikh Abdul Wahab. Sejak kecil Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab sudah kelihatan tanda – tanda kecerdasannya. Beliau tidak suka membuang masa kecilnya dengan sia – sia seperti kebiasaan tingkah laku kebanyakan kanak – kanak lain yang sebaya dengannya. Berkat bimbingan kedua ibu bapaknya tentang beberapa bidang kecerdasan otak dan kerajinannya,
Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab telah berjaya menghafaz al- qur’an 30 juz. Setelah beliau belajar pada ibu bapaknya tentang beberapa bidang pengajian dasar yang meliputi bahasa dan agama, beliau diserahkan oleh ibu bapaknya kepada para ulama setempat sebelum dikirim oleh ibu bapaknya ke luar daerah. Tentang ketajaman pikirannya, saudaranya Sulaiman bin’Abdul Wahab pernah menceritakan begini: “ Bahwa ayah mereka, Syeikh ‘Abdul Wahab merasa sangat kagum atas kecerdasan Muhammad, padahal ia masih di bawah umur. Beliau berkata: ‘Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama dibidang ilmu Fiqh.” Syeikh Muhammad mempunyai daya kecerdasan dan ingatan yang kuat, sehingga apa saja yang dipelajarinya dapat dipahaminya dengan cepat sekali, kemudian apa yang telah dihafalnya tidak mudah pula hilang dalam ingatannya.
B.RUMUSAN MASALAH
  1. Muhammad bin Abdul Wahhab
  2. Gerakan Wahhabi
  3. Kehidupan Syeikh Muhammad di Madinah
  4. Belajar dan berdakwah di Basrah
  5. Syeikh Muhammad di Dariyah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab
(1115 – 1206 H/1701 – 1793 M), nama lengkap : Syeikh al-Islam al-Imam Muhammad bin Abdul  Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at- Tamimi al-Hambali an- Najdi adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan salafiah yang pernah menjabat sebagai menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi.
2. Gerakan Wahhabi
Muhammad bin Abdul Wahab berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam, para pendukung pergerakan ini sering disebut Wahabbi, tetapi mereka menolak istilah ini karena pada dasarnya ajaran bin Wahhab adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajarannya sendiri. Karenanya, mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhiddun, yang bererti”satu Tuhan”.
Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal – usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umunya keliru dengan mereka karena mereka mendakwah mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad bin Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah Mazhab dalam al-Sunnah wa al-Jama’ah.                   Nama Wahhabi atau al- Wahabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama ‘Abd al-Wahhab, al-Syeikh Muhammad bin ‘Abd al- Wahab al-Najdi. Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan tolak oleh para penganut Wahhabisendiri dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (Unitarians) karena mereka mendakwah ingin mengembalikan jaran – jara tawhid kedalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasululllah. Dia mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud. Sesuai kesepakatan, sampai saat ini gelar “keluarga kerajaan” Negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud.
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampong Uyainnah 9Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan dibesarkan dlam kalangan keluarga terpelajar. Syeikh Abdul Wahab. Ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad abdul bin Abdul Wahab berhasil menghafal 30 juz al-quran sebelum ia berusia sepuluh tahun. Setelah itu, beliau diserahkan oleh orang tuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah. Saudara kandungnya, Sulaiman bin abdul Wahab, menceritakan betapa bangganya Syeikh Abdul Wahab, ayah mereka , terhadap kecedasan Muhammad. Beliau pernah berkata, “Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh”. Setelah mencpai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untkuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menuaikan rukun Islam yang kelima –mengerjakan haji di Baitullah. Ketika selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Mekkah selama selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru. Di madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar.
3. Kehidupan Syeikh Muhammad di Madinah
Saat di Madinah syeikh Muhammad semakin terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (Aqidah Salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri, ia akan berjuang dan bertekad untuk mengembalikan aqidah umat Islam di sana sesuai keyakinannya, yaitu kepada akidah Islam yang menurutnya murni (tauhid), untuk itu, ia pun mulai mempelajari berbagai buku yang ditulis para ulama terdahulu.
4. Belajar dan Bredakwah di Basrah
Setelah beberapa lama menetap di Mekkah dan Madinah, ia kemudian pindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehinggs bsnysk ilmu – ilmu yang diperolehnya, terutama di bidang hadits dan musthalahnya, fiqih dan usul fiqhnya, serta ilmu gramatika (ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga berdakwah di kota ini.
Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi, dakwahnya di sana kurang bersinar.
Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. tetapi Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebagian ulama. Akhirnya beliau meningglakan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya.
Setelah beberapa lama, beliau lau kembali ke al-Ihsa menemui gurunya, untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama ini belum sempat dipelajarinya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu, dan kemudian ia kembali ke kampong asalnya Uyainah. Adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat.
Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah maupun di luar Uyainah.
Ketika pemerintah al- Ahsa’ mendapat berita bahwa Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah ‘Uyainah pula menyokongnya, maka kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada pemerintah Uyainah . hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ihsa. Amir Uyainah berda dalam posisi serba salah saat itu.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Adul Wahab, Wada Watahu Wasiratuhu. Syeikh Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz, beliau berkata: “ Demi menghindari pertimpahan darah, dank arena tidak ada lagi pilihanlain, di samping beberapa pertimbangan lainnya mkaterpaksalah Syeik meninggalakan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dngan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorang pun. Beliau meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari.” (Ibnu Baz,Syeikh ‘Abdul’Aziz bin ‘Abdullah, m.s 22)
Tetapi ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat dukungan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu’ammar. Dengan demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang stia untuk meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahannya.Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab kemudian pergi Dariyah.
5. Syeikh Muhammad di Dariyah
Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah Darioyah, yang tidak berapa jauh dari tempat keiaman Amir Muhammad bin Saud  (pemerintah negeri Dariyah). Syeikh menemui seorang penuduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Sulaim al- Arini. Bin Sulaim ini adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat setempat. Syeikh kemudian meminta izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke tempat lain. Pada awalanya ia ragu – ragu menerima Syeikh di rumahnya, karena suasana Dariyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak aman, tapi karena mengetahui maksud dan tujuannya, barulah Muhammad bin Sulaim ingin menerimanya sebagai tamu di rumahnya.
Peraturan di Dariyah ketika itu mengharuskan setipa pendatang melaporkan diri kepada pihak berkuasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Sulaim Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah serta menjelaskan maksud dana tutjuannya kepada beliau. Namun mereka gagal menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada di rumah, mereka pun menyampaikan pesan kepada Amir melalui istrinya.
Istri Ibnu Saud ini adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke rumah istrinya ini, sang istri menyampaikan semua pesan – pesan itu kepada suaminya. Selanjutnya ia berkata kepada suaminya: “ Bergembiralah kakanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyrakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh kepda Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang sangat besar, janganlah ragu – ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kakanda menjemputnya kemari.”
Namun baginda bimbang sejenak, ia bingung apakah sebaiknya Syeikh itu dipanggil dating menghadapnya, atau dia sendiri yang harus dating menjemput Syeikh untuk dibawa ke tempat kediamannya baginda pun kemudian meminta pandangan dari beberapa penasehatnya tentang masalah ini. Istrinya dan para penasihatanya yang lain sepakat bahwa sebaiknya baginda sendiri yang dating menemui Syeikh Muhammad di rumah Muhammad bin Sulaim. Baginda pun menyetujui nasihat tesebut. Maka pergilah baginda bersama beberpa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin Sulaim, di mana Syeikh Muhammad bermlam.
Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin Sulaim, Amir Ibnu Saud member salam diblas dengan salam dari Syeikh dan bin Sulaim. Amir Ibnu Saud berkata: “ Ya Syeikh! Bergembiralah anda di negeri kami, kami menerima dan menyambut kedatangan anda di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berikrar untuk menjamin keselamatan dan keamanan anda Syeikh di negeri ini dalam menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Dariyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang anda Syeikh rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk bersama – sama anda Syeikh berjuang demi meniggikan agama Allah dan menghidupkan sunah RasuNya sehingga Alllah memenanglan perjuangan ini, Insya Allah!”
Kemudian anda Syeikh menjawab: “ Alhamdulillah, anda juga patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah Subhanahu wa Taala. Kami ingin mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini, Allah akan menolonganya. Dan siapa yang mendukung agama ini, niscaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang tidak begitu lama.” Demikianlah seorang Amir (penguasa) tunggal negeri Dariyah, yang bukan hanya sekedar membela dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus membela darahnya bagaikan saudara kandung sendiri, yang bererti di antara Amir dan Syeikh sudah bersumpah setia sehidup – semati, ternyata apa yang diikrarklan oleh Amir Ibnu Saud itu benar – benar ditepatinya. Ia bersama Syeikh siring sejalan, bahu – membahu dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya.
Nama Syiekh Muhammad bin Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu terdengar dikalangangan masyarakat, baik di dalam negeri Dariyah maupun di negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dariyah pun berduyun-duyun datang ke Dariyah untuk menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri Dariyah penuh sesak dengan kaum Muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Beliau pun membuka Madrasah dengan mengunakan kurikulum yang menjadi teras bagi perjuangan beliau, yaitu dibidang pengajian Aqaid al-qur’an, tafsir, fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatikanya dan lain-lain.
Dalam waktu yang singkat saja, Dariyah telah menjadi kiblat ilmu dan kota pelajar penuntut Islam. Para penuntutilmu, tua dan muda, berduyun – duyun datang ke negeri ini. Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah yang bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat umum. Gema dakwah beliau begitu membahana di seluruh pelosok Dariyah dan negeri – negri jiran yang lain. Kemudian, Syeikh mula meneggakan jihad, menulis surat – surat dakwahnya kepada tokoh – tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh beliau sendiri. Hali ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bid’ah, dan khufarat di negeri mereka masing – masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, beliau memulai di negeri Najd. Beliau pun mula mengirimkan surat – suratnya kepada ulama – ulama dan penguasa – penguasa di sana.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Syeikh al-Islam al-Imam Muhammad bin Abdul  Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at- Tamimi al-Hambali an- Najdi adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan salafiah yang pernah menjabat sebagai menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi.                        Muhammad bin Abdul Wahab berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam, para pendukung pergerakan ini sering disebut Wahabbi, tetapi mereka menolak istilah ini karena pada dasarnya ajaran bin Wahhab adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajarannya sendiri. Karenanya, mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhiddun, yang bererti”satu Tuhan”.
Saran
Perkembangan Islam merupakan sejarah yang dapat dijadikan tauladan, dipelajari dengan mengambil hikmahnya dan menegakkan Syariah Islam jangan sampai terjadi kemunduran.

Imam Al-Ghazali, Pengikut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Bagian 2)

Sebelum terjadi Perang Salib Satu dan seterusnya, hampir seluruh dunia dikuasai kaum Ahlus-Sunnah. Ibnu Katsir menjelaskan berkenaan dengan hal tersebut berdasarkan Firman Allah dan merujuk sejarah yang ada. Hanya saja di dalam kitab tersebut tidak ada istilah Perang Salib:
{ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (55) } هَذاَ وَعْدٌ مِنَ اللهِ لِرَسُوْلِهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ بِأَنَّهُ سَيَجْعَلُ أُمَّتَهُ خُلَفاَءَ اْلأَرْضِ، أَيْ: أَئِمَّةَ الناَّسِ وَالْوُلاَةَ عَلَيْهِمْ، وَبِهِمْ تَصْلُحُ الْبِلاَدُ، وَتَخْضَعُ لَهُمُ الْعِباَدُ، وَلَيُبَدِّلَنَّ بَعْدَ خَوْفِهِمْ مِنَ النَّاسِ أَمْناً وَحُكْماً فِيْهِمْ، وَقَدْ فَعَلَ تَباَرَكَ وَتَعاَلَى ذَلِكَ. وَلَهُ اْلحَمْدُ وَالمِنَّةُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَمُتْ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ حَتَّى فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ مَكَّةَ وَخَيْبَرَ وَالْبَحْرَيْنِ، وَساَئِرَ جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ وَأَرْضَ الْيَمَنِ بِكَماَلِهاَ. وَأَخَذَ اْلجِزْيَةَ مِنْ مَجُوْسِ هَجَرَ، وَمِنْ بَعْضِ أَطْراَفِ الشَّامِ، وَهاَداَهُ هِرَقْلُ مَلِكُ الرُّوْمِ وَصاَحِبُ مِصْرَ وَاْلإِسْكَنْدَرِيَّةِ -وَهُوَ الْمُقَوْقِسُ -وَمُلُوْكُ عُمَانَ وَالنَّجاَشِيُّ مَلِكُ الْحَبَشَةِ، الَّذِيْ تَملَّكَ بَعْدَ أَصْحَمَةَ، رَحِمَهُ اللّهُ وَأَكْرَمَهُ ثُمَّ لَمَّا مَاتَ رَسُولِ اللّهِ - صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَاخْتاَرَ اللهُ لَهُ مَا عِنْدَهُ مِنَ الْكَرَامَةِ ، قاَمَ بِاْلأَمْرِ بَعْدَهُ خَلِيْفَتُهُ أَبُو بَكْرِ الصّدّيقُ، فَلَمَّ شَعَثَ ماَ وَهَى عِنْدَ مَوْتِهِ، عَلَيْهِ الصّلَاةُ وَالسّلَامُ وَأَطَّدَ جَزِيْرَةَ الْعَرَبِ وَمَهَدَهاَ، وَبَعَثَ الْجُيُوْشَ اْلإِسْلاَمِيَّةِ إِلَى بِلاَدِ فاَرِسَ صُحْبَةَ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ، رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ، فَفَتَحُوْا طَرَفاً مِنْهاَ، وَقَتَلُوْا خَلْقاً مِنْ أَهْلِهاَ. وَجَيْشاً آخَرَ صُحْبَةَ أَبِيْ عُبَيْدَةَ، رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ مَعَهُ مِنَ اْلأُمَراَءِ إِلَى أَرْضِ الشَّامِ، وَثاَلِثًا صُحْبَةَ عَمْرِو بْنِ الْعاَصِ، رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ ، إِلَى بِلاَدِ مِصْرَ، فَفَتَحَ اللهُ لِلْجَيْشِ الشَّامِيِّ فِيْ أَياَّمِهِ بُصْرَى وَدِمَشْقَ وَمَخَالِيْفَهُماَ مِنْ بِلاَدِ حَوْراَنَ وَماَ وَالاَهاَ، وَتَوَفاَّهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ ، وَاخْتاَرَ لَهُ ماَ عِنْدَهُ مِنَ الْكَراَمَةِ. ومَنَّ عَلَى اْلإِسْلاَمِ وَأَهْلَهُ بِأَََنْ أَلْهَمَ الصِّدِّيْقَ أَنِ اسْتَخْلِفْ عُمَرَ الْفاَرُوْقَ، فَقاَمَ فِي اْلأَمْرِ بَعْدَهُ قِياَماً تَاماًّ، لَمْ يَدُرِ الْفُلْكُ بَعْدَ اْلأَنْبِياَءِ [عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ] عَلَى مِثْلِهِ، فِيْ قُوَّةِ سِيْرَتِهِ وَكَماَلِ عَدْلِهِ. وَتَمَّ فِي أَياَّمِهِ فَتْحُ الْبِلاَدِ الشاَّمِيَّةِ بِكَماَلِهاَ، وَدِياَرُ مِصْرَ إِلَى آخِرِهاَ، وَأَكْثَرُ إِقْلِيْمِ فاَرِسَ، وَكَسَّرَ كِسْرَى وَأَهاَنَهُ غاَيَةَ اْلهَواَنِ، وَتَقَهْقَرَ إِلَى أَقْصَى مَمِلَكَتِهِ، وقَصَّرَ قَيْصَرَ، وَانْتَزَعَ يَدَهُ عَنْ بِلاَدِ الشاَّمِ فَانْحاَزَ إِلَى قُسْطَنْطِيْنَةَ، وَأَنْفَقَ أَمْواَلَهُماَ فِي سَبِيْلِ اللهِ، كَماَ أَخْبَرَ بِذَلِكَ وَوَعَدَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ، عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ أَتَمُّ سَلاَمٍ وَأَزْكَى صَلاَةٍ.
Allah telah menjanjikan pada sebagian kalian yang telah beriman dan telah beramal shalih:
  • nicaya sungguh Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di dalam bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan khalifah pada orang-orang sebelum mereka,
  • niscaya sungguh akan menempatkan agama milik mereka yang Dia ridhai untuk mereka,
  • dan niscaya sungguh Dia akan memberi ganti rasa aman dari setelah ketakut-an mereka: mereka akan menyembah-Ku dan tidak mensyirikkan-Ku pada sesuatu. Dan barang siapa kufur setelah itu berarti mereka itu orang-orang fasiq. [Qs An-Nur 55].

Ini janji Allah untuk Rasul-Nya صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ bahwa Allah akan menjadikan umat Nabi Muhammad صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ sebagai khalifah-khalifah bumi, maksudnya panutan dan pengatur-pengatur mereka. Dan dengan perantaraan mereka kota-kota akan men-jadi baik dan hamba-hamba Allah akan merendah pada mereka. Dan niscaya rasa takut mereka pada manusia akan dirubah oleh Allah menjadi rasa aman bahkan hukum akan ditentukan oleh mereka. Allah تَبَارَكَ وَتَعَالَى pun telah melaksanakan janji ter-sebut. Dan segala puja dan anugrah hak Allah. Dalam kenyataan Rasulullah صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ tidak meninggal dunia sehingga Allah membantu beliau menaklukkan kota Makkah, Khaibar, Bahrain, seluruh jazirah Arab dan kota Yaman secara sempurna. Dan Rasulullah صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ telah menarik pajak dari pemeluk agama Majusi kota Hajar, dan sebagian pinggiran kota-kota Syam. Hiraqla(1) raja Romawi, raja Mesir dan Iskandariyah bernama الْمُقَوْقِسُ (Al-Muqauqis) raja-raja Oman dan Najasyi dan raja Habasyah yang bertahta setelah Ash-Chamah رَحِمَهُ اللّهُ telah memberi Rasulullah صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ hadiyah. Lalu Rasulullah صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ meninggal dunia (2), dan Allah memberi karamah pilihan di sisi-Nya untuk beliau, tegasnya bahwa yang berdiri untuk memegang perkara saat itu adalah khalifah beliau yaitu Abu Bakr As-Shiddiq. Ketika Abu Bakr telah membenahi yang acak-acakan setelah beliau عَلَيْهِ الصّلَاةُ وَالسّلَامُ wafat, dan telah memperkokoh dan memperkuat Jazirah Arab, dan telah mengutus:
  1. Pasukan-pasukan Islam agar mengajak Islam pada beberapa penduduk kota Farisi di bawah pimpinan Khalid bin Al-Walid(3) رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ. Mereka pun ber-hasil menaklukkan pinggiran kota Farisi. Cukup banyak penduduk yang ter-bunuh karena sepak terjang Khalid dan pasukannya (karena mereka mem-bangkang pada Tuhan. Akhirnya mereka banyak yang masuk Islam).
  2. Pasukan-pasukan lainnya di bawah pimpinan Abu Ubidah رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ didam-pingi sejumlah amir menuju kota Syam.
  3. Pasukan-pasukan di bawah pimpinan Amr bin Ash رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ menuju sejumlah kota di Mesir.

Akhirnya Allah memberi kemenangan pada pasukan yang menuju kota Syam di hari-hari hayat Abu Bakr رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ. Wilayah yang ditaklukkan Bushra, Damaskus(4) dan sekitarnya, kota Chauran dan sekitarnya. Akhirnya Allah عَزّ وَجَلّ mewafatkan dan memberikan karamah pilihan yang di sisi-Nya untuk Abu Bakr(5) رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ. Sebe-lumnya Allah telah memberi anugrah pada Islam dan pemeluknya berupa ilham untuk Abu Bakr رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ “Angkatlah Umar Al-Faruq sebagai khalifah!.” Maka Umar رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ pun berkuasa mengurusi perkara setelahnya dengan kebijakan sangat sempurna. Perahu-perahu setelah para Nabi عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ mutlak tidak ada yang sehebat perahu Umar, mengenai kuatnya langkah kebijakan dan sempurnanya keadilannya. Di hari-hari hayatnya lah penaklukan kota-kota Syam sangat sempurna, bahkan kota-kota Mesir hingga pinggirannya ditaklukkan. Sejumlah besar kota Farisi juga ditaklukkan. Kerajaan Kisra dihancurkan dan dihinakan secara maksimal, hingga Raja Kisra me-larikan diri ke wilayah kekuasaannya paling ujung. Selanjutnya Umar menghajar hingga Qaishar(6) Romawi meninggalkan kota Syam melarikan diri ke Qusthanthinah (Konstantinopel). Harta kekayaan dua kerajaan raksasa tersebut diinfakkan oleh Umar ke Sabilillah, sebagaimana Rasulullah عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ أَتَمُّ سَلامَ ٍوَأَزْكَى صَلاَةٍ telah mengkhabarkan dan menjanjikannya.

Jika di zaman Umar bin Khatthab رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ saja kejayaan Islam sudah seperti itu apa lagi pada zaman Utsman bin Affan رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ. Ibnu Katsir meneruskan tulisannya:
ثُمَّ لَماَّ كاَنَتِ الدَّوْلَةُ الْعُثْماَنِيَّةُ، امْتَدَّتِ الْمَماَلِيْكُ اْلإِسْلاَمِيَّةُ إِلَى أَقْصَى مَشاَرِقَ اْلأَرْضِ وَمَغاَرِبَهاَ، فَفُتِحَتْ بِلاَدُ اْلمَغْرِبِ إِلَى أَقْصَى ماَ هُناَلِكَ: اْلأَنَدَلُسِ، وَقَبْرَصَ، وَبِلاَدِ الْقَيْرَوَانِ، وَبِلاَدِ سَبْتَةَ مِماَّ يَلِي الْبَحْرَ اْلمُحِيْطِ، وَمِنْ ناَحِيَةِ الْمَشْرِقِ إِلَى أَقْصَى بِلاَدِ الصِّيْنِ، وَقُتِلَ كِسْرَى، وَباَدَ مُلْكُهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَفُتِحَتْ مَداَئِنُ الْعِراَقِ، وَخُراَساَنُ، وَاْلأَهْواَزُ، وَقَتَلَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنَ التُّرْكِ مَقْتَلَةً عَظِيْمَةً جِداًّ، وَخَذَلَ اللهُ مَلِكَهُمُ اْلأَعْظَمَ خاَقاَنَ، وَجُبِيَ الْخَراَجُ مِنَ الْمَشاَرِقِ وَالْمَغاَرِبِ إِلَى حَضْرَةِ أَمِيْرِ اْلمُؤْمِنِيْنَ عُثْماَنَ بْنِ عَفاَّنَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ. وَذَلِكَ بِبَرَكَةِ تِلاَوَتِهِ وَدِرَاسَتِهِ وَجَمْعِهِ اْلأُمَّةَ عَلَى حِفْظِ اْلقُرْآنِ؛ وَلِهَذاَ ثَبَتَ فِي الصَّحِيْحِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَنَّهُ قاَلَ: " إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِىَ الأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِى سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِىَ لِى مِنْهَا" فَهاَ نَحْنُ نَتَقَلَّبُ فِيْماَ وَعَدَناَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ، وَصَدَقَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ، فَنَسْأَلُ اللهَ اْلإِيْماَنَ بِهِ، وَبِرَسُوْلِهِ، وَالْقِياَمَ بِشُكْرِهِ عَلَى اْلوَجْهِ الَّذِيْ يُرْضِيْهِ عَناَّ
Lalu wilayah kekuasan Daulat Utsmaniyah Islamiyah melebar ke lebih ujung Timur dan Baratnya bumi. Kota-kota Maghribi ditaklukkan melebar hingga ke wilayah paling ujung: Andalusia, Qabrash, kota-kota Qairawan, kota-kota Sabtah dekat laut Muhith. Wilayah kekuasaan bagian Timur juga melebar hingga ke ujung negri Cina, Sementara itu Raja Kisra(7) dibunuh, dan berakhirlah seluruh kerajaannya. Sejumlah kota Iraq juga ditaklukkan, demikian pula kota Khurasan dan Ahwaz. Umat Islam juga memerangi bangsa Turki dengan peperangan yang sangat dahsyat sekali. Allah merendahkan raja terbesar mereka ber-nama Khaqan. Kharaj (hasil bumi dari kafir dzimmi atau dzimmah) disetorkan dari wilayah-wilayah Timur dan Barat bumi ke hadirat Utsman bin Affan رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ. Itu karena barakah beliau rajin membaca dan memperdalam ilmu Al-Qur’an. Beliau juga menyeragamkan bacaan Al-Qur’an untuk umat Islam(8). Oleh karena itu di dalam Hadits shahih telah tertulis:
“Sesungguhnya Allah telah melipatkan bumi untukku, hingga saya menyak-sikan bagian Timur-timur dan Barat-baratnya bumi. Dan sungguh wilayah ke-rajaan umatku akan sampai ke wilayah yang telah dilipatkan untukku.”

Kini kitalah yang berbolak-balik yakni tenggelam pada janji Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya telah menetapi janjinya. Maka kita memohon agar Allah menjadikan kita beriman pada-Nya dan pada Rasul-Nya, dan agar kita mensyukuri nikmat agar Dia ridha pada kita.

(1)Dalam Ar-Raudhul-Unuf juz 4 halaman 300 dijelaskan:
ثُمّ كَتَبَ كِتَابًا ، وَأَرْسَلَهُ مَعَ دِحْيَةَ يَقُولُ فِيهِ لِلنّبِيّ - صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ - إنّي مُسْلِمٌ وَلَكِنّي مَغْلُوبٌ عَلَى أَمْرِي ، وَأَرْسَلَ إلَيْهِ بِهَدِيّةٍ فَلَمّا قَرَأَ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ كِتَابَهُ قَالَ " كَذَبَ عَدُوّ اللّهِ لَيْسَ بِمُسْلِمٍ ، بَلْ هُوَ على نَصْرَانِيّتِهِ
Lalu (Hiraqla) menulis surat dan mengirimkannya bersama Dihyah. Di dalamnya dijelaskan pada Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ: “Sungguh saya muslim, tetapi saya dikalahkan atas perkaraku.” Dia juga mengirimkan hadiah pada Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ. Setelah Nabi membaca suratnya, bersabda “Musuh Allah telah bohong, dia bukan muslim. Bahkan dia memeluk agama Nashraninya.”
(2)Wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul-Awal tahun sebelas Hijriyyah. Dimakamkan hari Selasa sehari setelahnya di pertengahan siang, namun matahari telah condong ke barat. Dalam umur 63 tahun.
(3)Dia sahabat Nabi yang mendapat gelar Saifullah atau Pedang Allah. Kalau berperang seperti malaikat. Namanya harum sebagai pejuang hingga banyak orang yang membuat sya’ir mengenai kehe-batannya. Hal itulah yang membuat Umar khawatir jika di suatu saat nanti dia dikultuskan manusia. Hingga akhirnya Umar melepaskan jabatannya yang sangat tinggi.
(4)Kota emasnya, yakni pilihannya Raja Hiraqla saat itu.
(5)Dia wafat pada malam Selasa tanggal 8 Jumadayil-Akhir tahun 13 Hijriyyah, dalam umur 63 tahun.
(6)Kata Kaisar berasal dari Qaishar bahasa Romawi. Di dalam Murujudz-Dzahab juz 1 halaman 136 di-jelaskan:
فَساَرَ إِلَيْهِمُ الثاَّنِيُّ مِنْ مُلُوْكِ الرُّوْمِ، مِنْ بِلاَدِ رُوْمِيَّةِ، وَهُوَ أَغُسْطُسُ، وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ سُمِّيَ قَيْصَرَ وَإِلَيْهِ تُنْسَبُ الْقَياَصِرَةُ بَعْدَهُ
Akhirnya raja yang ke dua dari Romawi berjalan dari kota Romawi menuju mereka. Dialah raja yang bernama Agustus. Dialah orang yang pertama-kali bergelar Qaishar (Kaisar). Semua raja setelahnya bergelar Qaishar (Kaisar) mengikuti dia.

Dalam Murujudz-Dzhab juz 1 halaman 137 ditulis;
ثُمَّ مَلَكَ بَعْدَهُ أَغُسْطُسُ قَيْصَرُ، سِتاًّ وَخَمْسِيْنَ سَنَةً، وَهَذاَ الْمُلْكُ هُوَأَوَّلُ مَنْ سُمِّيَ مِنْ مُلُوْكِ الرُّوْمِ قَيْصَرَ، وَهُوَ الثاَّنِي مِنْ مُلُوْكِهِمْ، وَتَفْسِيْرُ قَيْصَرَ بُقِرَ أَيْ شُقَّ عَنْهُ، وَذَلِكَ أَنَّ أُمَّهُ ماَتَتْ وَهِيَ حاَمِلٌ بِهِ فَشُقَّ بَطْنُهاَ فَكاَنَ هَذاَ الْمَلِكُ يَفْتَخِرُ فِي وَقْتِهِ بِأَنَّ النِّساَءَ لَمْ تَلِدْهُ، وَكَذَلِكَ مَنْ حَدَثَ بَعْدَهُ مِنْ مُلُوْكِ الرُّوْمِ مِمَّنْ كاَنَ مِنْ وَلَدِهِ يَفْتَخِرُوْنَ بِهَذاَ الْفِعْلِ وَماَ كاَنَ مِنْ أُمِّهِمْ، فَصاَرَتْ سِمَةً لِمَنْ طَرَأَ بَعْدَهُ مِنْ مُلُوْكِ الرُّوْمِ، وَاللهُ أَعْلَمُ
Lalu yang menjadi raja setelahnya Agustus Kaisar selama 56 tahun. Raja inilah raja Romawi yang pertama kali diberi gelar Qaishar (Kaisar). Dia raja kedua mereka. Qaishar artinya dibedah, maksudnya dibelah untuk melahirkan dia. Itu terjadi karena ibunya wafat di saat mengandung dia. Akhirnya ibunya dibedah perutnya. Oleh karena itu raja ini sombong di waktu hidupnya “Wanita tidak ada yang melahirkan seperti dia.” Begitu pula raja-raja Romawi yang bertahta setelahnya dari keturunannya, juga bersombong karena peristiwa yang terjadi pada nenek mereka tersebut. Akhirnya Qaishar (Kaisar) menjadi nama gelar raja-raja Romawi yang bertahta setelahnya. Dan Allah lah yang lebih tahu.

(7)Kisra yang ini bernama Yazdajird. As-Suhaili menulis:
كِسْرَى هَذَا هُوَ أَبَرْوَيْزُ بْنُ هُرْمُزَ بْنِ أَنُوشِرْوَانَ ، وَمَعْنَى أَبْرَوَيْزَ بِالْعَرَبِيّةِ الْمُظَفّرُ وَهُوَ الّذِي غَلَبَ الرّومَ حِينَ أَنَزَلَ اللّهُ { الم غُلِبَتِ الرّومُ فِي أَدْنَى الْأَرْضِ } [ أَوّلُ الرّومِ ] وَهُوَ الّذِي عُرِضَ عَلَى اللّهِ فِي الْمَنَامِ فَقَالَ [ ص 148 ] صَاحِبِ الْهِرَاوَةِ فَلَمْ يَزَلْ مَذْعُورًا مِنْ ذَلِكَ حَتّى كَتَبَ إلَيْهِ النّعْمَانُ بْنُ الْمُنْذِرِ بِظُهُورِ النّبِيّ - صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ - بِتِهَامَةَ ، فَعَلِمَ أَنّ الْأَمْرَ سَيَصِيرُ إلَيْهِ حَتّى كَانَ مِنْ أَمْرِهِ مَا كَانَ وَهُوَ الّذِي كَتَبَ إلَيْهِ النّبِيّ - صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ - وَحَفِيدُهُ يَزْدَجِرْدُ بْنُ شَهْرَيَارَ بْنِ أَبْرَوَيْزَ وَهُوَ آخِرُ مُلُوكِ الْفُرْسِ ، وَكَانَ سُلِبَ مُلْكُهُ وَهُدِمَ سُلْطَانُهُ عَلَى يَدَيْ عُمَرَ بْنِ الْخَطّابِ ، ثُمّ قُتِلَ هُوَ فِي أَوّلِ خِلَافَةِ عُثْمَانَ ، وُجِدَ مُسْتَخْفِيًا فِي رَحًى فَقُتِلَ وَطُرِحَ فِي قَنَاةِ الرّحَى ، وَذَلِكَ بِمَرْوَ مِنْ أَرْضِ فَارِسَ
Kisra yang ini bernama Abruiz bin Hurmuz bin Anusirwan. Arti Abruiz dalam bahasa Arab yang di-menangkan. Raja inilah yang telah menaklukkan kerajaan Romawi Timur pada saat Allah menurunkan wahyu “Romawi telah dikalahkan, namun setelah kalah mereka akan mengalahkan.” Dialah orang yang telah diberi mimpi oleh Allah. (Dalam mimpi tersebut ada perintah “Serahkanlah yang di dua tanganmu pada pemilik unta!).” Maka sejak itu jantung dia berdebar-debar ketakutan hingga akhirnya diberi tahu oleh Nu’man melalui surat “Nabi Muhammad صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ telah muncul di Tihamah.” Akhirnya dia menyadari bahwa perkara akan berpindah kepada Nabi hingga akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Dia pula yang pernah disurati oleh Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ diajak masuk Islam. Cucu Abruiz bernama Yazdajird bin Syahrayar bin Abruiz yang menjadi raja Farisi terakhir. Kerajaannya dirampas dan kekuasaannya ditumbangkan oleh tangan Umar bin Khatthab, akhirnya dibunuh pada zaman awal kekhalifahan Utsman. Dia ditangkap di saat bersembunyi di dalam lesung. Akhirnya dia dibunuh dan ditaruh di Qanah Raha yakni di wilayah kota Marwa wilayah kerajan Farisi.

(8)Sebelumnya bacaan Al-Qur’an bermacam-macam karena banyak yang belum tahu bahwa bacaan-bacaan tersebut telah di-mansukh secara tilawah.
Jumlah huruf Al-Qur’an menurut Jalalud-Din di dalam Al-Itqan:
وَأَماَّ عَدَدُ حُرُوْفِهِ وَأَجْزَائِهِ فَرَوَى سَلاَّمٌ أَبُوْ مُحَمَّدٍ الْحَماَّنِيُّ أَنَّ الْحَجاَّجَ بْنَ يُوْسُفَ جَمَعَ الْقُراَّءَ وَالْحُفاَّظَ وَالْكُتاَّبَ، فَقاَلَ: أَخْبِرُوْنِيْ عَنِ الْقُرْآنِ كُلِّهِ كَمْ مِنْ حَرْفٍ هُوَ ؟. قاَلَ: وَكُنْتُ فِيْهِمْ، فَحَسَبْناَ فَأَجْمَعْناَ عَلَى أَنَّ الْقُرْآنَ ثَلَثُمِائَةِ أَلْفِ حَرْفٍ وَأَرْبَعُوْنَ أَلْفِ حَرْفٍ وَسَبْعُمِائَةِ حَرْفٍ وَأَرْبَعُوْنَ حَرْفاً وَقاَلَ: فَأَخْبِرُوْنِيْ إِلَى أَيِّ حَرْفٍ يَنْتَهِيْ نِصْفُ الْقُرْآنِ ؟ فَإِذاَ هُوَ الْكَهْفُ " وَلْيَتَلَطَّفْ " فِي الْفاَءِ
Dan adapun jumlah huruf-huruf dan juz-juz Al-Qur’an, Salam Abu Muhammad Al-Hamani meriwayatkan “Sesungguhnya Hajaj bin Yusuf telah mengumpulkan Qura’ (para orang yang ahli membaca Al-Qur’an), Huffadl (para orang yang ahli menghafal Al-Qur’an), dan Kuttab (para penulis Al-Qur’an). Selanjutnya ia berkata ‘berilah khabar padaku tentang Al-Qur’an semuanya, terdiri berapa huruf kah?’. ‘Saat itu saya berada di pertengahan mereka’ kata Salam. Setelah kami menghitung-nya kami berijma’ (sepakat) bahwa Al-Qur’an terdiri 340.740 huruf. Dia juga berkata ‘berilah khabar padaku tepat pada manakah huruf di tengah Al-Qur’an?’. Ternyata huruf fa dalam وَلْيَتَلَطَّفْ Surat Al-Kahfi.”