Mengenai Saya

Foto saya
bandung, jawa barat, Indonesia
Pendidikan : > SDN 05 Pariaman > SMPN 07 Sakarek ULu > SMAN 1 Pariaman > STAI{ Sekolah Tinggi agama islam } > Pondok Pesantren Kediri Jawa Timur Tahun 1997 _ 1999 > Pondok Pesantren Al-Barokah Purworejo, Jawa Tengah.pengajar di pon pes al huda riau,,2004 - 2006..Sekarang menetap di bandung.ALHAMDULILLAH......KATAM HADIST SHOHIH BUKHORI,SHOHIH MUSLIM,SUNAN NASAI,SUNAN ABU DAUD,SUNAN TIRMIZI,...

Rabu, 05 Januari 2011

Beratnya Dosa bagi Peminum Khomr

 

Salah satu perbuatan maksiat yang keji dan hina menurut agama Islam adalah minum atau mengkonsumsi khomr. Khomr adalah segala sesuatu minuman/makanan/bahan/zat yang dapat menyebabkan mabuk/hilang kesadaran bagi pengkonsumsinya. Termasuk golongan khomr adalah: minuman keras (miras), arak, whisky, anggur/wine dan sejenisnya; narkoba, narkotika, ganja, morfine, sabu-sabu, ekstasy dan sejenisnya.
Hadist Rasulullah SAW
 
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ عَلَى اللهِ عَزّض وَجَلَّ عَهْدًا لِمَنْ يَشْرَبَ الْمُسْكِرَ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِيْنَهُ الْخَبَالِ قَالُوا يَارَسُولَ اللهِ وَمَا طٍيْنَةِ الْخَبَالِ قَا لَ عَرَقَ أَهْلِ النَّرِ أَوْ عُصَارَةُ أَهْلِ النّارِ* رواه مسلم
Nabi SAW bersabda: Setiap yang memabukkan itu haram, sesungguhnya Allah yang Maha Mulya menjanjikan siksaan bagi orang yang minum khomr, akan dipaksa minum thinatul khobal. Para sahabat bertanya,”Ya Rasulullah, apakah thinatul khobal?. Nabi menjawab,” yaitu perasannya ahli neraka atau perasan keringat ahli neraka.

Muntah Saat Berpuasa

 

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةً عَنِ النَّبِيِّ صلى اللهِ عليه وسلم قَالَ مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَمَنِ استَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ* رواه ابن ماجة في كتاب الصيام - صحيح
 
Dari Abi Hurairah dari Nabi SAW, Nabi bersabda,”Barangsiapa terpaksa (tidak sengaja) muntah maka tidak wajib mengkodho’ (mengulangi puasa) atasnya dan barang siapa dengan sengaja muntah maka wajib baginya mengkodho (mengulangi puasa).
Hadist riwayat Ibnu Majah dalam Kitabushiam (shohih)

Wanita Haid Saat Puasa

 

عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلِتُ مَابَالُ الحَائِضِ تَقْضِيِ الصَوْمَ وَلاَ تَقْضِي الصَّلَاةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّيْ أَسْأَلُ قَالَتْ كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِالصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ* رواه مسلم في كتب الحيض
 
Dari Muadah bercerita, saya bertanya pada ‘Aisah (istri Nabi SAW),
Saya tanyakan,“Mengapa wanita yang haid harus mengkodho (membayar) puasa dan tidak mengkodho’ shalat?”
‘Aisah menjawab,”Apakah engkau orang Kharuriyah?”
Saya menjawab,”Saya bukan orang Kharuriyah, namun saya bertanya”.
‘Aisah berkata,”Suatu ketika saya mengalami haid maka saya diperintah (oleh Nabi) mengkodho’ puasa dan tidak diperintah mengkodho’ shalat.”
Hadist riwayat Muslim dalam Kitabu Haid

QURBAN

  Qurban adalah salah satu dari sekian banyak hal yang disyari’atkan Alloh swt. Kepada hambanya, agar mereka dapat semakin mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Hal positif yang timbul dari qurban ini adalah disamping sebagai syiar Agama Alloh, juga dapat memberikan kesan yang baik bagi ummatnya.

Kriteria binatang Qurban

Kriteria binatang yang boleh dijadikan qurban adalah, sehat, tidak cacat dan yang baik.
Criteria ini kita dasarkan pada dalil-dalil berikut :



قَالَ سَأَلْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَزب قَالَ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَرْبَعٌ لاَ تَجُوزُ فِى الضَّحَايَا الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ عَرَجُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِى لاَ تُنْقِ
Artinya :
Bertanya albaro bin azib dia berkata : Rosululloh saw berdiri diantara kami lalu bersabda : empat macam (bimatang) yang tidak boleh dijadikan qurban ; buta sebelah yang nyata butanya, yang sakit dan nyata sakitnya, yang pincang dan nyata pincangnya, serta yang tua yang tidak bersumsum (HR Ahmad)

Pada riwayat lain :


Artinya :
Dari Ali ra. Dia berkata, Rosululloh saw perintah pada kami agar memperhatikan mata dan kuping, agar kami tidak berqurban dengan yang buta sebelah, tidak yang muqobalah, tidak yang yang mudabaroh, dan yang terbelah kupingnya dan tidak rompal giginya depan. (HR Ahmad )

Keterangan
muqobalah adalah kambing yang digunting sebelah depan kupingnya dan dibiarkan terkulai
mudabaroh adalah yang digunting sebelah belakangnya.

Kesimpulannya yang dapat ditarik adalah, bahwa binatang yang tidak boleh dijadikan qurban ialah
Yang buta sebe;ah, sakit, pincang, tua, muqobalah, mudabaroh, yang terbelah kupingnya, dan yang rompal giginya.


Bentuk berqurban

Boleh berqurban secara kolektif dan tidak terbatas, artinya satu ekor sapi tidak mesti maksimal untuk 7 orang, lebih dari 7 orang boleh patungan untuk membeli seekor sapi.
Dasar boleh qurban kolektif adalah sebagai berikut :



Artinya
Dari jabir b Abdillah, ia berkata : Kami pernah berqurban bersama Rosululloh saw pada tahun peperangan Hudaibiyah, yaitu seekor onta untuk 7 orang dan seekor sapi untuk 7 orang.
Riwayat ini tidak bersifat membeatasi, karena bersifat kejadian, sesuatu yang bersifat kejadian tidak dapat dipakai sebagai pembatas.
Begitu pula halnya dengan seekor kambing boleh untuk orang banyak ( lebih dari 7 orang). Hal ini dapat didasarkan pada kejadian Nabi,saw. Berqurban seekor kambing yang oleh beliau dinyatakan juga sebagai qurban dari ummatnya.


Artinya :
Kemudian berkata Nabi : Bismillah, wahai Tuhanku, terimalah qurban ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari ummat Muhammad.... lalu disembelih.

Cara menyembelih

Dalam menyembelih wajib membaca Bismillah kemudian membaca Takbir dasarnya adalah :


Artinya :
Dan beliau membaca, Bismillah Wallohu Akbar.

Pembagian Daging

Agama memerintahkan agar qurban itu dibagikan kepada masakin (termasuk faqir) Dasarnya :


Artinya :
Saya (Ali bin Abi Thalib) diperintah oleh Rosululloh saw. Untuk engurus qurban-qurbannya, supaya saya bagikan daging-dagingnya dan kulitnya dan pakaiannya kepada orang-orang miskin.

Yang qurbanpun juga dibenarkan menikmati (makan) daging qurban.
Dasarnya :


Artinya :
Adalah kami tidak biasa makan daging qurban kami lebih dari tiga hari Mina.
Lalu Rosululloh saw memberi kelonggaran kepada kami , yaitu beliau bersabda : Makanlah daging qurban kamu dan jadikanlah bekal.

Adapun orang yang mampu (yang tidak berqurban) juga dibenarkan untuk diberi bagian
Dasarnya adalah keumumman perintah Nabi saw berikut ini :


Artinya :
Makanlah dan berilah makan (Kepada) orang dan tahanlah serta simpanlah.
Perintah “ ath’imu” pada riwayat tersebut sifatnya umum, jadi baik kepada yang mampu apalagi yang miskin. Artinya orang yang mampu termasuk dalam keumuman perintah itu.



عَنْ عَلِىٍّ قَالَ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَسْتَشْرِفَ الْعَيْنَ وَالأُذُنَ وَأَنْ لاَ نُضَحِّىَ بِعَوْرَاءَ وَلاَ مُقَابَلَةٍ وَلاَ مُدَابَرَةٍ وَلاَ شَرْقَاءَ وَلاَ خَرْقَاءَ. عَنْ جَابِربْنِ عَبْدِالله قَالَ نَحَرْنَامَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم عَامَ الْحُدَيْبِية البَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ : مسلم ثم قال ( باسم الله اللهم تقبل من محمد وآل محمد ومن أمة محمد ) ثم ضحى وَيَقُوْلُ : بِسْمِ الله وَالله اكْبَر : مسلم أمَرَنِى رسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم أنْ أقُومَ على بُدْنِهِ وَأنْ أقَسِمَ لُحُومَهَا وَجُلُوْ دَهَاوَجِلاَلَهَاعَلَى الْمَسَاكِيْنِ كُنالاَنَأكُلُ مِنْ لُحُومِ بُدْنِنَافَوقَ ثَلاَثٍ مِنًى فَأ رْخَصَ لَنَا رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم فَقَا لَ : كُلُواوَتَزَوَدُوا : مسلم كُلُوْا وَاطْعِمُواوَاحْبِسُوْا وَادَّخِرُوْا : رواه مسلم

Puasa Sunah Hari Asyura, 9 dan 10 Muharam

Hadist Tirmizi Kitabu Shoum nomor 683

683- حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَأَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ الضَّبِّيُّ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ غَيْلَانَ بْنِ جَرِيرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْبَدٍ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ* رواه الترمّذي كتب الصوم (صحيح
)
…dari Abi Qotaadah sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Puasa hari Asyura saya mengharap bahwa Allah mengampuni dosa satu tahun sebelum puasa.

Hadist Tirmizi Kitabu Shoum nomor 686

686 - حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ يُونُسَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ يَوْمُ الْعَاشِر* رواه الترمّذي كتب الصوم (صحي

…dari Ibn Abaas berkata: Rasulullahi SAW memerintahkan puasa Asyura pada tanggal sepuluh.

Hadist Muslim Kitabu Shoum no. 1917

1917 - و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَيْرٍ لَعَلَّهُ قَالَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
وَفِي رِوَايَةِ أَبِي بَكْرٍ قَالَ يَعْنِي يَوْمَ عَاشُورَاءَ* رواه مسلم كتب الصوم
...dari A’bdillah bin A’abas Radhiyallohu anhuma dia berkata: Rasulullahi SAW bersabda: Seandainya saya masih tetap hidup sampai dengan tahundepan, maka saya akan berpuasa pada tanggal 9 Asyura.

... وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ ...الحديث* رواه الترمّذي كتب الصوم
... diriwayatkan dari Ibnu Abas dia berkata: Berpuasalah pada tanggal 9 dan 10 Muharam dan selisihilah orang Yahudi.

Puasa Sunah 6 Hari Bulan Syawal

Dikutip dari Hadist himpunan Kitabu Shiam cetakan LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) Bab 65 No. Hadist 94-95 Halaman 77-79
Hadist riwayat Muslim
حدثنا يَحْيَى بْنُ أَيُّبَ وَ قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ وَ عَليُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيْعًا عَنْ إِسْمَعْيلَ قَالَ بْنُ أَيُّوْبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعْيلَ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِيْ سَعْدُ بْنُ سَعِيْدٍ ابْنِ قَيْسٍ عَنْ عُمَرَ بْنُ ثَابِتِ بْنُ الْحَارِثِ الْخَزْرَجِيِّ عَنْ أَبِيْ أَيُّوْبَ الْأَنْصَارِيِّ رضى الله عنه أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالأٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ* رواه مسلم كتبالصيام
... dari Abi Ayyub Al-Anshori Radhiyallohu ‘anhu, sesungguhnya ia bercerita bahwa Rasulallohi SAW bersabda,”Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkannya dengan enam hari pada bulan Syawal ada (ia) seperti puasa satu tahun”.
Hadist riwayat Ibnu Majah Kitabushiam
 
حدثنا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ حَدَّثَنَاصَدَقَةُ ابْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ الحَارِثِ الذَّمَارِيُّ قَالَ سَمِعْتُ أبَا أَسْمَاءَ الرَّحَبِيَّ عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ مَنْ صَامَ سِتًّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَن جَاء بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) سورة الأنعام ١٦٠* رواه ابن ماجة كتاب الصيام
... dari Rasulillahi SAW, sesungguhnya beliau bersabda,”Barang siapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri sebagaimana (berpuasa) satu tahun penuh”. (Barang siapa datang dengan sebuah kebaikan maka baginya sepuluh kali sebagaimana kebaikan tersebut) [surat Al-An’am 160]

Dalil Puasa Nabi Dawud 'Alaihi Salam

Hadist riwayat Ibnu Majah Kitabushiam 171
 
حدّثنا أَبُو إسْحَاقَ الشَّافِعِىُّ, إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِالعَبَّاسِ. ثَنَاسُفْيَانُ ابْنُ عُيَيْنَةَ, عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ, قَالَ: سَمِعْتُ عَمْرَو بْنَ أوْسٍ: سَمِعْتُ عَبْدَاللهِ بْنَ عَمْرو يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى اللهِ عليه وسلم ((أَحَبُّ الصِّيَامِ إلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ فَإنَّهُ كَانَ يَصُوم يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا. وَأَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللهِ صَلَاةُ دَاوُدَ. كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيُصَلِّى ثلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ)) رواه 
بن مجاة فى كتب الصيام ١٧١٢ صحيح
Dari A’mr bin Dinaar berkata: Aku mendengar A’mr bin Aus: Aku mendengar Abdallahi bin A’mr berkata: Rasulullah SAW bersabda,”Lebih disenanginya puasa bagi Allah adalah puasanya nabi Dawud 'Alaihi Salam, sesungguhnya ada Nabi Dawud berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari. Dan lebih disenanginya shalat sunah bagi Allah adalah shalatnya nabi Dawud 'Alaihi Salam, ada Nabi Dawud tidur setengah malam dan shalat sepertiga malam dan tidur lagi seperenam malam”.

Menjima’ Istri Saat Sedang Haid 

Hadist riwayat Termizi Kitabu Thoharoh nomor 125

 

125 - حَدَّثَنَا بُنْدَارٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ وَبَهْزُ بْنُ أَسَدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا حَمَادُ بْنُ سَلَمَةِ عَنْ حَكِيمٍ الْأَثْرَمِ عَنْ أَبِي تَمِيمَةَ الهُجَيْمِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوْ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ* رواه سنن الترمذي كتب الطهارة
 
 
... dari Abi Huraira dari Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa menjimak istrinya saat haid atau menjimak istrinya dari dubur atau mendatangi tukang ramal sungguh-sungguh dia kufur dengan apa-apa yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW.

Merawat Kedua Orang Tua adalah Jihad

 

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ المُثَنَّى عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيْدٍ عَنْ سُفْيَانَ وَشُعْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا حَبِيبُ بْنُ أَبْى ثَابْتٍ عَنْ أَبِى العَبَّاسِ عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِاللهِ صلى اللهُ عليه وسلم يسْتَأْذِنُهُ فِى الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَىٌّ وَالِداَكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيْهِمَا فَجَاهِدْ* رواه النسأ في كتاب الجهاد
 
 
Dari Abdillah bin ‘Amr bercerita,” Datang seorang lelaki pada Rasulullah SAW, ia minta izin kepada Nabi untuk ikut berperang”. Nabi bertanya,”Apakah masih hidup kedua orang tuamu?” Lelaki tersebut menjawab,”Ya”. Nabi bersabda,”Rawatlah keduanya, maka engkau telah berjihad.”

Dibencinya Meminta-minta Dalam Islam

Hadist Ibni Majah No. 1836 dan 1837 Kitabu Zakat Halaman 588


حدثنا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ وَعَمْرُو بْنُ ‘َبْدِ اللهِ الْأَوْدىُّ. قَالَا: ثنا وَكِيعٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أّبِيْهِ، عَنْ جَدِّهِ؛ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ((لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ أَحْبُلَهُ فَيَأْتِيَ الْجَبَلَ، فَيَجِئَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا، فَيَسْتَغْنِىَ بِثَمَنِهَا- خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ. أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ)).
Rasulullah SAW bersabda seandainya engkau membawa tali dan datang ke gunung dan kembali dengan membawa seikat kayu bakar dipunggungnya, kemudian menjualnya dan ia merasa cukup dengan hasilnya, itu jauh lebih baik daripada meminta-minta pada orang lain. Baik ia deberi atau tidak diberi.


حدثنا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ ثنا وَكِيعٌ، عَنِ بْن أَ بِى ذِئْبٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيْدَ، عَنْ ثَوْبَانَ؛ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ((وَ مَنْ يَتَقَبَّلُ لِى بِوَحِدَةٍ أَتَقَبَّلُ لَهُ بِالْجَنَّةِ؟)) قُلْتُ: أَنَا. قَالَ ((لاَ تَسْأَلِ النَّسَ شَيْئًا))
قَالَ: فَكَانَ ثَوْبَانَ يَقْعُ سَوْطَهُ، وَهُوَ رَاكِبٌ، فَلَا يَقُولُ لِأَحَدٍ: نَاوِلْنِيهِ. 

حَتَّى يَنْزِلَ فَيَأخُذَهُ
.

... dari Abdirrohman bin Yazid, dari Tsauban meriwayatkan, Rasulullahi SAW bersabda,”Siapakah yang mau menerima satu perkara dariku yang aku jamin surganya? Tsauban menjawab,”Saya’. Nabi bersabda,”Jangan pernah meminta pada orang lain”.
(Abdirrohman) meriwayatkan, suatu ketika Tsauban jatuh cambuknya ketika ia sedang naik kendaraan, dia tidak mau minta tolong pada seorangpun, “ambilkan cemeti itu untukku”. Sehingga ia turun (dari kendaraan) dan mengambilnya sendiri.

Larangan dalam Islam Menyambung Rambut, Tato, Mencabut Alis dan Merubah Ciptaan Allah

 

Hadist Ibnu Majah Jus 2 nomor 1987 Kitabu Nikah (Shohih Mutafakun alaih)
 
حدثنا أَبُوبَكْرِ بْنُ أبِى ِشَيْبَةَ. ثنا عَبْدُاللهِ بْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو أَسَامَةَ، عَنْ ثبَيْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ نَا فِعٍ، عَنِ بْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ لَعَنَ الْوَاصِلَةَ وَالمُسْتَوْصِلَةَ، وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشَمَةَ*  
رواه ابن ماجه كتاب النكاح
 
... dari Ibni Umar, dari Rasulullah SAW, sesungguhnya Rasulullah SAW melaknati orang yang menyambung rambut dan orang yang minta disambung ranbutnya, dan orang yang mentato dan orang yang minta ditato.


Hadist Ibnu Majah Jus 2 nomor 1988 Kitabu Nikah (Shohih Mutafakun alaih)
 
حدثنا أَبُوبَكْرِ بْنُ أبِى ِشَيْبَةَ. ثنا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيمَانَ، عَنْ هِشَامِ ابْنِ عُرْوَةَ، عَنْ فَاِطِمَةَ، عَنْ أَسْمَاءَ؛ قَالَتْ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ: إِنَّ ابْنَتِى عُرَيِّسٌ وَقَدْ أَصَابَتْها الْحَصْبَةُ. فَتَمَرَقَ شَعْرَهَا.فَأَصِلُ لَهَا فِيْهِ؟؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ((لَعَنَ اللهُ الْوَصِلَةَ وَالمُسْتَوْصِلَةَ)).* رواه ابن ماجه كتاب 
 النكاح
..
. Asma’ meriwayatkan, seorang perempuan datang pada nabi SAW dan mercerita,”Seungguhnya anak perempuanku menjadi kemanten dan sungguh-sungguh menimpa padanya sakit panas. Maka rontok rambutnya. Bolehkah saya menyambung rambutnya? Rasulullah SAW menjawab, “Allah melaknati orang yang menyambung rambut dan minta disambung rambutnya”.


Hadist Ibnu Majah Jus 2 nomor 1989 Kitabu Nikah (Shohih Mutafakun alaih)
 
حدثنا أَبُو عُمَرَ، حَفْص بْنُ عُمَرَ، وَعَبْدُ الرَحمَنِ بْنُ عُمَرَ. قَالَا: ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِىٍّ. ثنا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ إِبْرَاهِيْمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، عَنْ عَبْدِاللهِ؛ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشَمَاةَ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلحُسْنِ، الْمُغَيِّرَاتِ لِخَلْقِ اللهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِى أَسَدٍ، يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ. فَجَاءَتْ إِلَيْهِ. فَقَالَت: بَلَغَنِى عَنْكَ أَنَّكَ قُلتَ كَيْتض وَكَيْتَ. قَالَ: وَمَالِى لاَأَلْعَنُ مَن لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَفِى كِتَابِاللهِ؟ قَالَتْ:إِنِّى لَأَفْرَاأُ مَابَيْنَ لَوْحَيْهِ فَمَا وَجَدْتُهُ. قَالَ: إِنْ كُنْتِ قَرَأْتِهِ فَقَدْ وَجَدْتِهِ: أَمَا قَرَأُتِ: وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا؟ قَالَتْ: بَلَى. قَالَ:فَإنَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَدْ نَهَى عَنْهُ. قَالَتْ: فَإِنِّى لَأَظُنُّ أَهْلَكَ يَفْعَلُونَ. قَالَ:اذءهَبِى فَنْظُرِى. فَذَهَبَتْ فَنَظَرَتْ فَلَمْ تَرَ مِنْ حَاجَتهَا شَيْئاً. قَالَتْ: مَارَأَيْتُ شَيْئاً. عَبْدُاللهِ: لَوْ كَا نَت كَمَا تَقُولِينَ مَا جَامَعَتنَا
 .
... Abdillah meriwayatkan Rasulullah SAW melaknati orang yang menato dan orang yang minta ditato, dan orang yang mencabut bulu alis, dan orang yang meratakan gigi untuk keindahan, dan orang yang merubah ciptaan Allah. Maka sampai kabar tersebut pada seorang perempuan dari Bani Asad, disebutkan namanya Ummu Ya’kub.
Perempuan tersebut bertanya,“Datang padaku kabar darimu bahwa engkau mengatakan begini dan begini. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak melaknati orang yang Rasulullah juga melaknati bila itu terdapat pada Kitabillah. (Ummu Ya'kub) berkata: Sesungguhnya saya membaca lembaran kitab maka aku tidak menemukan maslah tersebut.
(Abdillah) menjawab,”Pernahkah engkau membaca ayat ini ?:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا - سرة الحشر اية 
7
(Apa-apa yang Rasul berikan padamu ambillah (taatilah) dan apa-apa yang Rasul larang maka berhentilah – Surat Al Hasyr ayat 7)
(Ummu Ya’kub) menjawab: Ya.
(Abdillah) mengatakan: Maka sesungguhnya Rasulullah SAW sungguh-sungguh melarang perbuatan tersebut.
(Ummu Ya’kub) berkata: Maka sesungguhnya aku mengira istrimu melakukan perbuatan tersebut.
(Abdillah) berkata: Coba berangkatlah dan lihatlah sendiri.
Maka Ummu Ya’kub berangkat dan menyaksikan tidak melihat tuduhannya tersebut.
(Ummu Ya’kub) mengatakan: Aku tidak melihat apapun.
Abdillah berkata; Bila seandainya istriku berbuat seperti itu tidak mungkin aku menikahinya.

Keterangan;

  1. Larangan menyambung rambut, tato, mencabut alis dan merubah ciptaan Allah tidak terdapat dalam Al Quran namun wajib ditaati oleh setiap orang Islam karena telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW berdasarkan dalil Al Quran surat Al Hasr ayat 7
  2. Termasuk larangan menyambung rambut yang paling dikenal adalah memakai konde dan wig serta berbagai teknik dan model menyambung rambut yang lebih mutakhir dan lebih canggih
  3. Termasuk merubah ciptaan Allah adalah memutihkan kulit (merubah warna kulit), operasi plastik untuk memperindah bagian tubuh dan ganti kelamin
  4. Tidak termasuk merubah ciptaan Allah yaitu; operasi bibir sumbing dan operasi fisik tubuh lainnya akibat penyakit dan akibat kecelakaan.

7 Golongan Mendapatkan Naungan Allah di Hari Kiamat

 

قَالصلى الله عليه وسلّم سَبْعَ’ّ يُظِلُّمُ اللهُ فِى ظِلِّهِ لاَظِلَّ إِلَّا ظِلَّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَاءَ بِعِبَادَةِ اللهِ وَ رَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقَ فِى الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِى اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ اِمْرَأَةٌ ذَاتِ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَلَ اِنِّى أَخَافُ اللهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَاُخْفَهَا حَتَّى لَا تَعْلَمُ يَمِنَهُ مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَاللهَ خَالِيًا فَفَاَضَتْ 
 عَيْنَهُ* رواه مسلم ج

Rasulullah SAW bersabda,”Ada tujuh golongan yang Allah akan menaungi (kelak di hari kiamat) dalam naunganNYA yang saat itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah, (1) imam yang adil, (2) dan remaja yang tumbuh sejak kecil terus beribadah kepada Allah, (3) dan laki-laki yang hatinya digantungkan pada masjid, (4) dan dua orang laki laki yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul karna Allah dan berpisah juga karna Allah, (5) dan laki-laki yang didatangi perempuan terhormat yang cantik (mengajak berzina) namun ia menolak dan mengatakan aku takut kepada Allah, (6) dan laki-laki yang bersedekah sesuatu, memberikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa-apa yang diinfakkan oleh tangan kanannnya, (7) dan laki-laki yang berzikir saat sepi dan meneteskan air mata (karena takut kepada Allah)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Apabila kalian melihat seseorang berjalan diatas air atau dapat terbang di udara, maka janganlah mempercayainya dan tertipu dengannya sampai kalian mengetahui bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. Jika amalannya sesuai as sunnah, maka ia wali Allah, namun jika amalannya tidak sesuai dengan as sunnah, maka ia adalah wali syaithan”. [A’lamus Sunnah Al Manshurah hal. 193].


MENGGERAK-GERAKKAN JARI TELUNJUK KETIKA TASYAHHUD ADALAH SUNNAH




Bismillah,
Ketika kita melakukan sholat berjamaah seringkali kita jumpai ada sebagian ikhwah dalam praktek sholatnya menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud. Sebagian ikhwah yang lain merasa heran dengan hal itu karena –umumnya- sejak kecil mereka tidak mendapatkan pelajaran tentang hal itu.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah hal itu yakni menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud itu ada keterangan atau contoh dari Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam? Apakah termasuk bagian dari Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam ? Penasaran ? Mari kita ikuti pembahasan berikut:

Pembahasan tentang gerak jari telunjuk ketika tasyahud berpulang kepada hadits Waail bin Hujr yang diriwayatkan dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Khulaib dari Khulaib bin Syihaab. Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut:

أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ أَخْبَرَهُ قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَقَامَ فَكَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا بِأُذُنَيْهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا قَالَ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ لَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا ثُمَّ سَجَدَ فَجَعَلَ كَفَّيْهِ بِحِذَاءِ أُذُنَيْهِ ثُمَّ قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا

Dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Aashim bin Kulaib, ia berkata:

Telah mengabarkan kepadaku bapakku (yaitu Kulaib bin Syihaab) dari Waail bin Hujr –semoga Allah Meridhainya- ia berkata, ‘Aku berkata (yakni di dalam hati): Sungguh! Betul-betul aku akan melihat/memperhatikan bagaimana caranya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendirikan shalat?’

Berkata Waail, ‘Maka aku melihat beliau berdiri (menghadap ke kiblat) kemudian bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya sehingga setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau meletakkan kedua tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya dan di atas pergelangan dan lengan.’

Berkata Waail,’Ketika beliau hendak ruku’ beliau pun mengangkat kedua tangannya seperti di atas, kemudian beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya (yakni I’tidal) sambil mengangkat kedua tangannya seperti di atas. Kemudian beliau sujud dan beliau letakkan kedua telapak tangannya setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau duduk (duduk di sini dzahirnya duduk tahiyyat/tasyahhud bukan duduk di antara dua sujud karena Waail atau sebagian dari rawi meringkas hadits ini) lalu beliau menghamparkan kaki kirinya dan beliau letakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lutut kirinya dan beliau jadikan batas sikut kanannya di atas paha kanannya, kemudian beliau membuat satu lingkaran (dengan kedua jarinya yaitu jari tengah dan ibu jarinya), kemudian beliau mengangkat jari (telunjuk)nya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya beliau berdo’a dengannya’

(Berkata Waail), ‘Kemudian, sesudah itu aku datang lagi pada musim dingin, maka aku lihat manusia (para sahabat ketika mendirikan shalat bersama nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menggerakkan tangan-tangan mereka dari dalam pakaian mereka lantaran sangat dingin (yakni mereka mengangkat kedua tangan mereka ketika takbir berdiri dan ruku’ dan seterusnya dari dalam pakaian mereka karena udara sangat dingin)’.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh :

1. Ahmad dalam Kitab al Musnad IV/318 dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/444.
2. al Bukhari dalam Kitab Qurratul ‘Ainain bi Raf’,il Yadain Fish Shalah hal. 27 no. 30 secara ringkas dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/445.
3. Abu Dawud dalam Kitab as Sunan I/178 no. 727, Bab Raf’ul yadain fish shalah.
4. an Nasai dalam Kitab as Sunan I/463 no. 888, Bab Maudhi’ul yamin minasy syimali fish shalah. Begitu pula dalam Kitab Sunanul Kubra I/256 no. 873.
5. Ibnu Hibban dalam Kitab ash Shahih, sebagaimana tercantum dalam kitab al Ihsan V/170-171 no. 1860.
6. Ibnu Khuzaimah dalam Kitab as Shahih I/234 no. 480 Bab Wadh’u bathni kaffil yusra rusghi was sa’id jamii’an.
7. ad Darimi dalam Kitab as Sunan I/230 no. 1357.
8. al Baihaqi dalam Kitab Sunanul Kubra II/189 no. 2787 Bab Man rawa annahu asyara biha wa lam yuharrik.
9. ath Thabrani dalam Kitab al Mu’jamul Kabir XXII no. 82 pada hadits Kulaib bin Syihab Abu ‘Ashim al Jarami dari Waa-il bin Hujr.
10. Ibnu Jarud dalam Kitab al Muntaqa no. 208 Bab Shifat shalatin Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam.

Semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari satu jalan, yaitu dari jalan Zaa-idah bin Qudamah, dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya (Abu Ashim), dari Waa-il bin Hujr.

Hadits ini memiliki sebuah syahid (pendukung), dari Umar bin al Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa seperti ini dan Syuraih pun membentangkan telapak tangannya yang kiri dan ia berkata, ‘Dengan menggerakkan jari telunjuknya yang kanan.’”  (HR. Ibnu Adi dalam Kitab al Kaamil fidh Dhu’afa VI/267)

Ibnu Adi meriwayatkannya dari Ahmad bin Ja’far al Balkhi, dari Muhammad bin Umar al Bazzar, dari Syuraih bin an Nu’man dari Utsman bin Miqsam, dari ‘Alqamah bin Marsyad dari Zir bin Hubaisy dari Sa’id bin Abdurrahman dari ayahnya dari Umar bin al Khaththab.

Imam Ibnu Adi berkata tentang perawinya yang bernama Utsman bin Miqsam, “ …dan kesimpulannya (ia seorang perawi) yang lemah, akan tetapi bersamaan dengan kelemahan yang ada padanya, haditsnya boleh ditulis”, hal ini juga dikemukakan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158-159]

Hadits Waa-il bin Hujr di atas telah disahkan oleh banyak ulama, diantaranya :

1. Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.
2. Imam Ibnu Hibban, juga sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.
3. Imam an Nawawi dalam Kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab III/454.
4. Imam Ibnu ‘Abdil Bar telah mengisyaratkan tentang sahnya hadits ini dalam Kitabnya al Istidzkaar IV/262.
5. Sebagaimana juga Imam al Qurthubi telah menukil pen-shahih-an Ibnu Abdil Bar di atas dalam Tafsir-nya, ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 43.
6. Ibnul Mullaqqin dalam Khulashatu Badril Munir I/139 no. 646.
7. al Hafizh al Baihaqi telah menshahihkan, sebagaimana yang dikatakan oleh al Khaththib asy Syarbini dalam Kitab Mughnil Muhtaj I/255
8. Syaikhul Islam Ibnul Qayyim dalam Kitab Zaadul Ma’ad (I/239)
9. Syaikh al Albani telah menshahihkannya dalam banyak kitabnya, diantaranya : Shifat Shalat Nabi hal. 158, Tamamul Minnah hal. 214, Shahih Sunan Abi Dawud no. 717, Shahih Sunan an Nasai dan Irwaa-ul Ghalil no. 352.

Kesimpulan :

Hadits Wail bin Hujr dari jalan Zaaidah dari ‘Ashim adalah hadits Shahih sebagaimana keterangan diatas.

Pertanyaan :

“Bukankah ada sebagian ulama yang mendhoifkan hadits diatas dengan alasan tambahan lafadz yuharrikuhaيحركها) pada hadits tersebut adalah syadz karena Zaaidah bin Qudamah telah menyendiri dalam meriwayatkan lafadz يحركها?” (

Maka dijawab: Shahih… ada sebagian ulama yang menyatakan hadits tersebut adalah hadits syadz karena tambahan lafadz يحركها. tidak diriwayatkan kecuali dari jalan Zaaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Khulaib. Sedangkan setidaknya ada 22 rawi yang meriwayatkan hadits dari ‘Ashim bin Khulaib hanya dengan lafadz إشارة (Isyarat) tanpa ada tambahan يحركها. Dua puluh dua rawi tersebut adalah:

1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.
2. Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.
3. Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
4. Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
5. ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
6. ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
7. Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
8. Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.
9. Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
10. Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.
11. Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
12. Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
13. Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.
14. Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
15. ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.
16. Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
17. Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
18. Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
19. ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
20. Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
21. ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
22. Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.

Adapun hadits dengan lafadz Isyarat yang dimaksud adalah:

رأى النبي صلى الله عليه وسلم صلى فكبر فرفع يديه فلما ركع رفع يديه فلما رفع رأسه من الركوع رفع يديه وخوى في ركوعه وخوى في سجوده فلما قعد يتشهد وضع فخذه اليمنى على اليسرى ووضع يده اليمنى وأشار بإصبعه السبابة

Aku melihat Nabi mengangkat kedua tangannya dalam shalat ketika takbir …… dan meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan lengan tangan kanan di atas paha tangan kanannya, lalu berisyarat dengan jari telunjuknya …” (HR. Ahmad IV/317, ath Thabrani 22/34/81 dan lainnya)

Maka dijawab:

Untuk mengetahui sebuah hadits syadz atau tidak kita harus melihat kembali apa itu definis syadz. Berikut adalah penjelasan dua imam besar tentang definisi syadz.

Pertama:

Syaikh al Albani berkata dalam mukadimah kitab beliau Tamamul Minnah tentang hadits syadz:
Hadits syadz adalah (hadits) yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yang diterima (periwayatannya, akan tetapi) periwayatannya menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya, sebagaimana yang dipegang oleh para ahlul hadits, dan Ibnu ash Shalah pun telah menerangkan hal itu.

Apabila seorang perawi menyendiri dalam suatu periwayatan, maka harus diperiksa, dan jika perawi yang menyendiri tersebut menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya dari segi hafalan atau pun kedhabitannya maka apa yang diriwayatkannya itu syadz dan tertolak.

Namun apabila dalam (tambahan periwayatannya itu) tidak ada perselisihan dengan apa yang diriwayatkan oleh yang lain, hanya saja ia meriwayatkan sesuatu yang tidak diriwayatkan oleh yang lainnya, maka diperiksa keadaan perawi yang menyendiri ini, jika ia adalah seorang perawi yang adil, hafizh, terpercaya dalam kekokohan serta kedhabitannya maka diterima apa yang ia riwayatkan secara menyendiri tersebut

Kedua:

Ibnu Shalah dalam Al-Muqaddimah, halaman 86:

إذا انفرد الراوي بشئ نظر فيه ، فإن كان مما انفرد به مخالفا لما رواه من هو أولى منه بالحفظ أو أضبط ، كان ما انفرد به شاذا مردودأ ، وإن لم تكن فيه مخالفة لما رواه غيره وإنما رواه هو ولم يروه غيره ، فينظر في هذا الراوي إلمنفرد ، فإن كان عدلا حافظا موثوقأ وإتقانه وضبطه ، قبل ما انفرد به ، ولم يقدح الانفراد به ، وإن لم يكن ممن يوثق بحفظه وإتقانه لذلك الذي انفرد به ، كان انفراده خارما له مزحزحا له عن حيز الصحيح ، ثم هو بعد ذلك دائر بين مراتب متفاوتة بحسب الحال ، فإن كان المنفرد به غير بعيد من درجة الحافظ الضابط المقبول تفرده ، استحسنا حديثه ذلك ولم نحطه إلى قبيل الحديث الضعيف ، وإن كان بعيدا من ذلك رددنا ما انفرد به وكان من قبيل الشاذ المنكر . . ”

“Jika seorang perawi menyendiri dengan sesuatu, perlu diamati. Jika riwayat tunggalnya bertentangan dengan riwayat orang yang lebih baik dan kuat hafalannya, maka tergolong riwayat syadz dan tertolak. Jika riwayat tunggalnya tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang lain, tetapi hanya dia sendiri yang meriwayatkan, sedang orang lain tidak, maka perlu diamati. Apakah perawi tunggal itu kuat hafalannya dan dapat dipercaya. (Jika yang terjadi seperti itu), maka diterimalah ia (dengan tambahan lafadhnya tersebut). Dan apabila ia tidak baik dan tidak kuat hafalannya, maka terputus dan terlempar jauh dari wilayah keshahihan. Dan setelah itu berada pada tingkat yang berbeda-beda sesuai keadaan. Artinya, jika perawi tunggal itu tidak jauh dari tingkat perawi lain yang kuat hafalan dan diterima kesendiriannya, maka kami golongkan hadits hasan dan kami tidak menjatuhkan pada kelompok hadits dla’if. Tetapi jika tidak, kami golongkan riwayat tunggal itu kepada hadits syadz yang munkar (teringkari)”. - selesai perkataan Ibnu Shalah -.

Setelah mengetahui definisi tentang hadits syadz di atas maka dua hal yang harus kita lakukan untuk memeriksa apakah hadits Zaaidah bin Qudamah tersebut syadz atau tidak:

Pertama: Memeriksa kondisi perawi hadits tersebut yang diperselisihkan oleh para ulama, dalam hal ini adalah Zaa-idah bin Qudamah. Berikut keterangan dua Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah:

1. al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahzib no. 1046 berkata, “(Zaa-idah bin Qudamah ini) tsiqatun tsabtun (yakni seorang perawi yang tsiqah lagi tsabit/kuat)”

2. Imam Ibnu Hibban berkata dalam Kitab ats Tsiqat VI/239-240, “Ia (Zaa-idah bin Qudamah) termasuk dari imam yang mutqin, ia tidak menganggap suatu pendengaran, kecuali setelah mengulanginya sebanyak tiga kali dan ia tidak dan ia tidak memuji seorang pun kecuali mereka yang telah disaksikan keadilannya oleh seseorang (imam) dari Ahlus (Sunnah)”

Berkata Syaikh al Albani, “Oleh karena itu tidak mudah bagi kita untuk menganggap syadz riwayat yang disampaikan oleh Zaa-idah (bin Qudamah) ini, khususnya periwayatan yang ia terima dari gurunya ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya. karena apabila kita menganggap syadz, maka niscaya akan banyak sekali riwayat – riwayat yang harus dihukumi seperti itu” (Dinukil dari kaset Imam al Albani yang berjudul Laa Qusyura fil Islam no. 167/8037 al Istiqamah)

Demikianlah pendapat para Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah, yang artinya adalah periwayatan hadits yang dilakukan olehnya dapat diterima.

Kedua : Memeriksa apakah ada pertentangan antara lafadz tahrik bertentangan dengan lafadz Isyarat ? Jawaban yang tepat bahwasanya tidak ada pertentangan antara lafadz tahrik dan isyarat baik ditinjau secara lughoh maupun dari dalil.
Dari segi bahasa dapat difahami bahwa isyarat itu terkadang disertai dengan gerak dan terkadang tanpa disertai dengan gerak (jadi disini yang terjadi bukan pertentangan lafazh, tetapi hanya permasalahan lafazh umum dan lafazh khusus). Syaikh Al ash Sha’idi al ‘Adawi al Maliki dalam Kitab Hasyiyah al ‘Adawi ‘ala Syarbi Kifayatut Thalibur Rabbani I/356 berkata,

Bahwa lafazh isyarat itu lebih umum daripada lafazh tahrik, mungkin berisyarat dengan cara menggerakkan (atau) mungkin tidak”.

Dan apabila ditinjau dari segi dalil, maka ada suatu hadits yang menarik untuk dibahas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang kisah shalatnya para shahabat di belakang Rasulullah dengan cara berdiri, padahal Rasulullah shalat sambil dalam keadaan duduk, maka beliau pun mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk semua (HR. al Bukhari dan Muslim)

Hadits yang dimaksud adalah:

حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أم المؤمنين أنها قالت صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في بيته وهو شاك فصلى جالسا وصلى وراءه قوم قياما فأشار إليهم أن اجلسوا فلما انصرف قال إنما جعل الإمام ليؤتم به فإذا ركع فاركعوا وإذا رفع فارفعوا وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا

Setiap orang pasti dapat dengan cepat memahami dari lafazh hadits tersebut bahwasannya isyarat beliau tidak hanya dengan mengangkat tangan saja, akan tetapi isyarat tersebut juga mengandung gerakan untuk menyuruh para sahabat agar shalat dalam keadaan duduk.

Ringkasnya adalah isyarat tidak menafikan atau meniadakan tahrik, maka pernyataan bahwa isyarat itu bertentangan dengan tahrik adalah tidak benar jika ditinjau dari segi lughah dan dalil.

Sehingga di dalam kitab Tamamul Minnah Syaikh al Albani memberikan kesimpulannya, “Menolak otensitas gerakan telunjuk dalam riwayat terkucil dari Zaid bin Qudamah tanpa perawi – perawi ‘Ashim bin Kulaib yang lain adalah suatu kesalahan besar karena dua alasan, Pertama : Mereka meriwayatkan isyarat dan isyarat tidak bisa menafikan adanya gerakan jari, Kedua : Kejujuran Zaidah (bin Qudamah) dan karena sudah tua, ia sangat teliti dalam meriwayatkan hadits. Para imam sepakat memberikan kesaksian atas dapat dipercayainya dan al Bukhari – Muslim pun berhujjah dengannya”

Kesimpulan: Bahwasanya hadits tahrik Zaaidah bin Qudamah bukanlah hadits syadz, justru hadits inilah yang menjelaskan tentang keumumam lafadz isyarat dalam hadits yang diriwayatkan dari selain Zaaidah bin Qudamah. Allahu A’lam

Pertanyaan: “Ada beberapa hadits yang justru menjelaskan bahwasanya Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (لا يحركها ), bagaimana penjelasannya ?”

Maka dijawab: Memang benar ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (لا يحركها ) , setidaknya ada dua buah hadits yaitu hadits Abdullah bin Zubair dan Ibnu Umar Radhiyallahu Anhum. Hadits tersebut adalah :

Hadits Pertama : Hadits Abdullah bin Zubair, yakni:

حدثنا حجاج عن بن جريج عن زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله عن عبد الله بن الزبير أنه ذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركهاقال بن جريج وزاد عمرو بن دينار قال أخبرني عامر عن أبيه أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى الله عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى

Diriwayatkan dari Hajjaj dari Ibnu Juraij dari Ziyad dari Muhammad bin Ajlan dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair, sesungguhnya ia menerangkan, ” Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya.” Berkata Ibnu Juraij, “Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya (Abdullah bin Zubair) : Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ “ (HR Abu Dawud no 989)

Hadits Semakna juga diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i dan Imam Baihaqi, berikut haditsnya :

Riwayat Imam Nasa’i 3/32:

حدثنا حجاج قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن عبد الله بن الزبير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها

Riwayat Imam Baihaqi 2/131-132:

أخبرنا حجاج بن محمد قال قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن عبد الله أنه ذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا لا يحركها

Keterangan dan Takhrij Hadits :

1. Hajjaj disini ialah Hajjaj bin Muhammad sebagaimana yang tercantum di sanad Baihaqi yang lengkapnya : Hajjaj bin Muhammad al Mishishi. ( المصيصي حجاج بن محمد )

2. Ziyad disini adalah Ziyad bin Sa’ad bin Abdurrahman (زياد بن سعد بن عبد الرحمن ), seorang rawi yang tsiqat dan tsabit ( Taqribut Tahzhib 1/268 & Tahdzibut Tahdzib 3/369-370)

3. Perkataan Ibnu Juraij ” Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya dan seterusnya.” Menunjukkan bahwa Ibnu Juraij terima dari dua rawi :
a. Pertama, Ziyad dengan lafadz tegas “telah mengkhabarkan kepadaku” (أخبرني ). Coba lihat riwayat Imam Nasa’i dan Imam Baihaqi diatas.
b. Kedua, Amr bin Dinar dengan lafadz tadlisnya ” ia berkata” (قال ). Coba lihat riwayat Imam Abu Dawud diatas.

4. Demikian juga ada dua orang rawi yang terima dari Amir bin Abdullah yaitu Muhammad bin Ajlan dan Amr bin Dinar.

Jelasnya, hadits ini diriwayatkan dari Amir bin Abdillah dari bapaknya Abdullah bin Zubair dengan dua jalan.

Jalan pertama :
  • · حجاج Hajjaj –
  • · بن جريج Ibnu Juraij –
  • · زياد Ziyad –
  • · محمد بن عجلان Muhammad bin Ajlan -
  • · عامر بن عبد اللهAmir bin Abdillah –
  • · Abdullah bin Zubair – عبد الله بن الزبير
Dengan Lafadz : أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها ” Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya.”

Pada jalan ini terdapat dua illat/penyakit, yaitu :

Pertama : Hajjaj bin Muhammad, meskipun ia seorang rawi yang tsiqat dan tsabit, tetapi di akhir umurnya ia telah ikhtilat (bercampur atau telah berubah hafalannya). Dan dalam keadaan demikian ia masih saja menceritakan hadits. Sedangkan dalam riwayat ini tidak diketahui atau diragukan apakah ia meriwayatkan sebelum ikhtilat atau sesudahnya ? terhadap riwayat yang demikian hukumnya didiamkan atau dianggap lemah selama belum ada keterangan yang tegas atau ada rawi lain yang tsiqat yang menyetujui riwayatnya. Kenyataannya riwayat Hajjaj bin Muhammad telah menyendiri sehingga kalau kita periksa riwayat-riwayat dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair tidak kita dapati tambahan لا يحركها kecuali dari jalan Hajjaj ini ( Baca Tahdzibut Tahdzib 2/205-206 dan Taqribut Tahzhib 1/154)

Kedua : Muhammad bin Ajlan, rawi ini telah dianggap tsiqat oleh imam-imam : Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, al Ijli, As Saji, Ibnu Saad dan Ibnu Hibban dan lain-lain. Rawi yang dipakai oleh imam-imam : Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dan lain-lain. Adapun Imam Bukhari tidak memakainya dikitab Shahihnya sebagai ‘dasar atau hujjah’ kecuali dipakai di riwayat-riwayat muallaq sebagaimana telah diterangkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar di Muqaddimah Faathul Baari hal 458.

Muhammad bin Ajlan ini meskipun ia seorang rawi tsiqat, tetapi ia juga seorang mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh Ibnu Hibban, Ibnu Abi Hatim dan lain-lain. Al Hafidz Ibnu Hajar dikitabnya Thabaqaatul Mudallisin hal 69 telah memasukkannya di martabat ketiga dari rawi-rawi mudallis, yaitu tentang seorang mudallis yang sering melakukan tadlis dan tidak dijadikan hujjah hadits-hadits mereka oleh para imam kecuali mereka menegaskan didalam hadits mereka yang menunjukkan mereka mendengar. Sedangkan dalam hadits diatas Muhammad bin Ajlan telah meriwayatkan dengan lafadz tadlisnya yaitu ia ber-‘an’anah (memakai lafadz عن), dengan demikian riwayatnya tidak dapat diterima.

Pertanyaan : “Bukankah di Musnad Imam Ahmad, Muhammad bin Ajlan telah meriwayatkan dari Amir bin Abdillah dengan lafadz yang tegas yaitu : telah menceritakan kepadaku (حدثني) yang menunjukkan ia betul telah mendengar dan sekaligus hilanglah tadlisnya ?

Maka dijawab : ”Betul”, untuk lebih jelasnya silahkan lihat hadits berikut :

عن يحيى بن سعيد عن بن عجلان قال حدثني عامر بن عبد الله بن الزبير عن أبيه قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جلس في التشهد وضع يده اليمنى على فخذه اليمنى ويده اليسرى على فخذه اليسرى وأشار بالسبابة ولم يجاوز بصره إشارته

Dari Yahya bin Said dari Ibnu Ajlan, ia berkata, ” Telah menceritakan kepadaku Amir bin Abdillah bin Zubair, dari bapaknya (Abdullah bin Zubair), ia berkata , ‘Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam biasa apabila duduk tasyahud ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya dan tangan kirinya diatas paha kirinya sambil ia berisyarat dengan jari telunjuknya, sedangkan pandangannya tidak melampaui isyaratnya. (Dikeluarkan oleh Ahmad 4/3, Abu Dawud 990, Nasa’i 3/33 dan Ibnu Khuzaimah 718 dan ini adalah lafadz Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Albani)

Pertanyaan: Adakah di hadits diatas disebut tambahan لا يحركها ? jawabnya, tidak ada ! maka sebetulnya hadits diatas menjadi hujjah yang memperkuat bahwa lafadz لا يحركها adalah syadz karena menyalahi rawi-rawi yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ajlan sendiri seperti : Yahya bin Said (hadits diatas), Abu Khalid al Ahmar, Laits (Muslim 2/90 dan Ibnu Hibban 1934) dan lain-lain. Dan menunjukkan bahwasanya lafadz لا يحركها tidak datang kecuali dari jalan Hajjaj dan Ibnu Juraij sebagai illat yang lain bagi hadits ini.

Jalan Kedua :
  • · حجاج Hajjaj –
  • · Ibnu Juraij – بن جريج
  • · عمرو بن دينار Amr bin Dinar –
  • · Amir bin Abdillah – عامر بن عبد الله
  • · Abdullah bin Zubair – عبد الله بن الزبير
Dengan lafadz, أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى الله عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ “

Pada jalan inipun terdapat dua illat, yaitu :

Pertama : Hajjaj bin Muhammad sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya

Kedua : Tadlisnya Ibnu Juraij dengan lafadz قال . Sudah maklum bahwsanya Ibnu Juraij adalah seorang rawi yang tsiqat akan tetapi mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh banyak imam diantaranya : Ahmad bin Hambal, Nasa’i, Daruquthni, Ibnu Hibban dan lain-lain.Yahya bin Said berkata tentang Ibnu Juraij : Jika Ibnu Juraij didalam riwayatnya menggunakan lafadz حدثني maknanya ia telah mendengar hadits itu secara langsung dari Syaikh/gurunya. Dan apabila ia menggunakan lafadz أخبرني menunjukkan ia yang membaca dihadapan gurunya. Kalau ia meriwayatkan dengan lafadz قال maka disamakan dengan angin yakni tidak diterima riwayatnya

Walhasil dari uraian diatas tahulah kita bahwasanya hadits Abdullah bin Zubair dengan tambahan lafadz لا يحركها adalah hadits dhoif. Allahu A’lam

Hadits Kedua : Hadits Ibnu Umar 

حدثنا عمر بن محمد الهمداني ثنا زيد بن أخزم ثنا أبو عامر العقدى ثنا كثير بن زيد عن مسلم بن أبى مريم عن نافع عن بن عمر أنه كان يضع يده اليمنى على ركبته اليمنى ويده اليسرى على ركبته اليسرى ويشير بإصبعه ولا يحركها ويقول إنها مذبة الشيطان ويقول كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعله

“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam mengerjakannya”. ( Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448)

Keterangan dan Takhrij Hadits :

Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti (jujur tapi banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.

Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :

1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththa’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi DaudSunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675. no.987,

2. Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.

3. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.

4. Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.

5. Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.

6. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.

7. Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.

Kedua: Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :

1. Tujuh rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).

2. Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-SunnahAd-Du’a no.635. 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam

Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.

Kesimpulan: Dari uraian diatas maka pendapat yang tepat tentang hadits لا يحركها adalah Dhoif. Allahu A’lam.

Pertanyaan: “Kita dapati ada sebagian ulama yang menshahihkan hadits لا يحركها seperti Imam Nawawi dalam majmu’.”

Maka dijawab: Nyatanya hadits tersebut adalah dhoif sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Kalaupun ada yang menganggap bahwasanya hadits diatas Shahih (walaupun pendapat yang lebih rajih bahwasanya hadits tersebut dhoif) maka hadits لا يحركها adalah Nafi’ sedangkan hadits يحركها adalah Musbit, sedangkan sudah ma’ruf dikalangan para Ulama akan kaidah المثبت مقدم على النافي ” Yang menetapkan (adanya gerak jari) didahulukan daripada yang meniadakan (tidak ada gerak jari). Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh dua imam besar yaitu :

Pertama: al-Imam Ibnul Qayyim dikitabnya Zaadul Ma’aad 1/238-239 di ta’liq oleh Abdul Qadir Arnauth dan Syuaib Arnauth, beliau berkata:

وأما حديث أبي داود عَنْ عبد اللّه بن الزبير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يُشير بأصبعه إذا دعا ولا يُحركها فهذه الزيادة في صحتها نظر، وقد ذكر مسلم الحديث بطوله في ((صحيحه))عنه، ولم يذكر هذه الزيادة، بل قال: كان رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم إذا قَعَدَ في الصلاة، جعل قدمَه اليسرى بين فخذه وساقه، وفرش قدمه اليُمْنى، ووضع يَدَه اليُسرى على رُكبته اليسرى، ووضع يده اليمنى على فخذه اليمنى، وأشار بأصبعه.
وأيضاً فليس في حديث أبي داود عنه أن هذا كان في الصلاة.
وأيضاً لو كان في الصلاة، لكان نافياً، وحديث وائل بن حُجر مثبتاً،وهو مقدَّم، وهو حديث صحيح، ذكره أبو حاتم في ((صحيحه)).

Adapun hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair, Bahwa Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan tidak menggerak-gerakannya. Maka tambahan (tidak menggerak-gerakkan) perlu diteliti keshahihannya. Karena sesungguhnya Imam Muslim telah menyebut hadits ini dengan panjang di(kitab) Shahihnya dari Abdullah bin Zubair dan ia tidak menerangkan tambahan ini, tetapi Abdullah bin Zubair berkata : “Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam apabila duduk di dalam sholat, ia jadikan kaki kirinya diantara paha dan betisnya dan ia hamparkan telapak kaki kanannya, dan ia letakkan tangan kirinya diatas lutut kirinya dan ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya sambil beliau berisyarat dengan jari (telunjuk)nya.
Lagi pula, pada hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair ini tidak menunjukkan di dalam sholat. Kalaupun memang di dalam sholat keadaannya sebagai nafi’ (meniadakan menggerak-gerakkan) sedangkan hadits Wail bin Hujr mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari) dan mutsbit didahulukan, dan hadits Wail adalah hadits Shahih telah diterangkan oleh Abu Hatim (Ibnu Hibban) di kitab Shahihnya.

Penta’liq kitab Zaadul Ma’aad mengatakan tentang hadits Wail, sanadnya Shahih dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Tentang Abdullah bin Zubair dikatakan “Sanadnya hasan dan telah dishahihkan oleh an Nawawi di Majmu’

Kedua : Ahli Hadits besar Syaikh Albani di kitabnya Sifat Sholat Nabi hal 170, beliau mengatakan:

وحديث أنه كا ن لايحركهالا يثبت من قبل إسنا د ه كما حققته في ” ضعيف أبي داود ” ولو ثبت فهو نافي و حد يث الباب مثبت و المثبت مقدم على النافي كما هو معروف عند العلماء

Dan bahwasanya beliau tidak menggerak-gerakkan jari telunjuknya, tidaklah tsabit (tetap/kuat) dari jurusan sanadnya sebagaimana telah saya terangkan di Dhoif Abu Dawud, dan kalaupun tsabit, maka dia itu nafi’ (meniadakan), sedangkan hadits dalam bab ini (maksudnya hadits Wail) mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari). Dan yang mutsbit itu didahulukan atas nafi’ sebagaimana telah ma’ruf dikalangan para ulama. 

Kesimpulan: Bahwasanya menggerak-gerakkan jari telunjuk waktu Tasyahud adalah merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam, karena telah tsabit dari beliau akan keterangannya. Oleh karena itu hendaklah kita menjaga dan melaksanakan segala sesuatu yang merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam. Allahu A’lam

PAKAIAN ORANGG LAKI - LAKI SESUAI SUNNAH

Hukum Celana Di Bawah Mata Kaki
Mungkin sebagian orang sering menemukan di sekitarnya orang-orang yang celananya di atas mata kaki (cingkrang). Bahkan ada yang mencemoohnya dengan menggelarinya sebagai ‘celana kebanjiran’. Pembahasan kali ini –insya Allah- akan sedikit membahas mengenai cara berpakaian seperti ini apakah memang pakaian ini merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau bukan.

Penampilan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Celana Setengah Betis

Perlu diketahui bahwasanya celana di atas mata kaki adalah sunnah dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dikhususkan bagi laki-laki, sedangkan wanita diperintahkan untuk menutup telapak kakinya. Kita dapat melihat bahwa pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sebagaimana dalam keseharian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Al Asy’ats bin Sulaim, ia berkata :

سَمِعْتُ عَمَّتِي ، تُحَدِّثُ عَنْ عَمِّهَا قَالَ : بَيْنَا أَنَا أَمْشِي بِالمَدِيْنَةِ ، إِذَا إِنْسَانٌ خَلْفِي يَقُوْلُ : « اِرْفَعْ إِزَارَكَ ، فَإِنَّهُ أَنْقَى» فَإِذَا هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ) قَالَ : « أَمَّا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ؟ » فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارَهُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ

Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang berkata, “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata, ’Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’ Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata,”Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putih”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah, hal. 69, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)

Dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang salah satu atau kedua betisnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هَذَا مَوْضِعُ الإِزَارِ فَإِنْ أَبِيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبِيْتَ فَلاَ حَقَّ لِلإِْزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ

“Di sinilah letak ujung kain. Kalau engkau tidak suka, bisa lebih rendah lagi. Kalau tidak suka juga, boleh lebih rendah lagi, akan tetapi tidak dibenarkan kain tersebut menutupi mata kaki.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, hal.70, Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shohih)

Dari dua hadits ini terlihat bahwa celana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sampai pertengahan betis. Boleh bagi seseorang menurunkan celananya, namun dengan syarat tidak sampai menutupi mata kaki. Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai teladan terbaik bagi kita dan bukanlah professor atau doctor atau seorang master yang dijadikan teladan. Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab [60] : 21)

Menjulurkan Celana Hingga Di Bawah Mata Kaki

Perhatikanlah hadits-hadits yang kami bawakan berikut ini yang sengaja kami bagi menjadi dua bagian. Hal ini sebagaimana kami ikuti dari pembagian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’ pada Bab Satrul ‘Awrot.

Pertama: Menjulurkan celana di bawah mata kaki dengan sombong

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ

“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaianya dalam keadaan sombong.” (HR. Muslim no. 5574).

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الَّذِى يَجُرُّ ثِيَابَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 5576)

Masih banyak lafazh yang serupa dengan dua hadits di atas dalam Shohih Muslim.

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tiga kali perkataan ini. Lalu Abu Dzar berkata,

خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ

“Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa mereka, Ya Rasulullah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

“Mereka adalah orang yang isbal, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 306). Orang yang isbal (musbil) adalah orang yang menjulurkan pakaian atau celananya di bawah mata kaki.

Kedua: Menjulurkan celana di bawah mata kaki tanpa sombong

Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ

“Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR. Bukhari no. 5787)

Dari hadits-hadits di atas terdapat dua bentuk menjulurkan celana dan masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda. Kasus yang pertama -sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu Umar di atas- yaitu menjulurkan celana di bawah mata kaki (isbal) dengan sombong. Hukuman untuk kasus pertama ini sangat berat yaitu Allah tidak akan berbicara dengannya, juga tidak akan melihatnya dan tidak akan disucikan serta baginya azab (siksaan) yang pedih. Bentuk pertama ini termasuk dosa besar.

Kasus yang kedua adalah apabila seseorang menjulurkan celananya tanpa sombong. Maka ini juga dikhawatirkan termasuk dosa besar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam perbuatan semacam ini dengan neraka.

Perhatikan bahwasanya hukum di antara dua kasus ini berbeda. Tidak bisa kita membawa hadits muthlaq dari Abu Huroiroh pada kasus kedua ke hadits muqoyyad dari Ibnu Umar pada kasus pertama karena hukum masing-masing berbeda. Bahkan ada sebuah hadits dari Abu Sa’id Al Khudri yang menjelaskan dua kasus ini sekaligus dan membedakan hukum masing-masing. Lihatlah hadits yang dimaksud sebagai berikut.

إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلاَ حَرَجَ - أَوْ لاَ جُنَاحَ - فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِى النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ

“Pakaian seorang muslim adalah hingga setengah betis. Tidaklah mengapa jika diturunkan antara setengah betis dan dua mata kaki. Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti).” (HR. Abu Daud no. 4095. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Al Jami’ Ash Shogir, 921)

Jika kita perhatikan dalam hadits ini, terlihat bahwa hukum untuk kasus pertama dan kedua berbeda.

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa jika menjulurkan celana tanpa sombong maka hukumnya makruh karena menganggap bahwa hadits Abu Huroiroh pada kasus kedua dapat dibawa ke hadits Ibnu Umar pada kasus pertama. Maka berarti yang dimaksudkan dengan menjulurkan celana di bawah mata kaki sehingga mendapat ancaman (siksaan) adalah yang menjulurkan celananya dengan sombong. Jika tidak dilakukan dengan sombong, hukumnya makruh. Hal inilah yang dipilih oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan Riyadhus Shalihin, juga merupakan pendapat Imam Syafi’i serta pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Abdullah Ali Bassam di Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom -semoga Allah merahmati mereka-.

Namun, pendapat ini kurang tepat. Jika kita melihat dari hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwa hukum masing-masing kasus berbeda. Jika hal ini dilakukan dengan sombong, hukumannya sendiri. Jika dilakukan tidak dengan sombong, maka kembali ke hadits mutlak yang menunjukkan adanya ancaman neraka. Bahkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri dibedakan hukum di antara dua kasus ini. Perhatikan baik-baik hadits Abu Sa’id di atas: Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti). Jadi, yang menjulurkan celana dengan sombong ataupun tidak, tetap mendapatkan hukuman. Wallahu a’lam bish showab.

Catatan: Perlu kami tambahkan bahwa para ulama yang menyatakan makruh seperti An Nawawi dan lainnya, mereka tidak pernah menyatakan bahwa hukum isbal adalah boleh kalau tidak dengan sombong. Mohon, jangan disalahpahami maksud ulama yang mengatakan demikian. Ingatlah bahwa para ulama tersebut hanya menyatakan makruh dan bukan menyatakan boleh berisbal. Ini yang banyak salah dipahami oleh sebagian orang yang mengikuti pendapat mereka. Maka hendaklah perkara makruh itu dijauhi, jika memang kita masih memilih pendapat yang lemah tersebut. Janganlah terus-menerus dalam melakukan yang makruh. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.

Sedikit Kerancuan, Abu Bakar Pernah Menjulurkan Celana Hingga di Bawah Mata Kaki

Bagaimana jika ada yang berdalil dengan perbuatan Abu Bakr di mana Abu Bakr dahulu pernah menjulurkan celana hingga di bawah mata kaki?

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah mendapat pertanyaan semacam ini, lalu beliau memberikan jawaban sebagai berikut.

Adapun yang berdalil dengan hadits Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, maka kami katakan tidak ada baginya hujjah (pembela atau dalil) ditinjau dari dua sisi.

Pertama, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu mengatakan, ”Sesungguhnya salah satu ujung sarungku biasa melorot kecuali jika aku menjaga dengan seksama.” Maka ini bukan berarti dia melorotkan (menjulurkan) sarungnya karena kemauan dia. Namun sarungnya tersebut melorot dan selalu dijaga. Orang-orang yang isbal (menjulurkan celana hingga di bawah mata kaki, pen) biasa menganggap bahwa mereka tidaklah menjulurkan pakaian mereka karena maksud sombong. Kami katakan kepada orang semacam ini : Jika kalian maksudkan menjulurkan celana hingga berada di bawah mata kaki tanpa bermaksud sombong, maka bagian yang melorot tersebut akan disiksa di neraka. Namun jika kalian menjulurkan celana tersebut dengan sombong, maka kalian akan disiksa dengan azab (siksaan) yang lebih pedih daripada itu yaitu Allah tidak akan berbicara dengan kalian pada hari kiamat, tidak akan melihat kalian, tidak akan mensucikan kalian dan bagi kalian siksaan yang pedih.

Kedua, Sesungguhnya Abu Bakr sudah diberi tazkiyah (rekomendasi atau penilaian baik) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sudah diakui bahwa Abu Bakr tidaklah melakukannya karena sombong. Lalu apakah di antara mereka yang berperilaku seperti di atas (dengan menjulurkan celana dan tidak bermaksud sombong, pen) sudah mendapatkan tazkiyah dan syahadah (rekomendasi)?! Akan tetapi syaithon membuka jalan untuk sebagian orang agar mengikuti ayat atau hadits yang samar (dalam pandangan mereka, pen) lalu ayat atau hadits tersebut digunakan untuk membenarkan apa yang mereka lakukan. Allah-llah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus kepada siapa yang Allah kehendaki. Kita memohon kepada Allah agar mendapatkan petunjuk dan ampunan. (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Darul Aqidah, hal. 547-548).

Marilah Mengagungkan dan Melaksanakan Ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

“Barangsiapa yang menta'ati Rasul, sesungguhnya ia telah menta'ati Allah.” (QS. An Nisa’ [4] : 80)

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nur [24] : 63)

وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An Nur [24] : 54)

Hal ini juga dapat dilihat dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu seolah-olah inilah nasehat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Berpegangteguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)

Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ

”Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.” (Lihat Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar ini shohih)

Sahabat Sangat Perhatian dengan Masalah Celana

Sebagai penutup dari pembahasan ini, kami akan membawakan sebuah kisah yang menceritakan sangat perhatiannya salaf (shahabat) dengan masalah celana di atas mata kaki, sampai-sampai di ujung kematian masih memperingatkan hal ini.

Dalam shohih Bukhari dan shohih Ibnu Hibban, dikisahkan mengenai kematian Umar bin Al Khaththab setelah dibunuh seseorang ketika shalat. Lalu orang-orang mendatanginya di saat menjelang kematiannya. Lalu datanglah pula seorang pemuda. Setelah Umar ngobrol sebentar dengannya, ketika dia beranjak pergi, terlihat pakaiannya menyeret tanah (dalam keadaan isbal). Lalu Umar berkata,

رُدُّوا عَلَىَّ الْغُلاَمَ

“Panggil pemuda tadi!” Lalu Umar berkata,

ابْنَ أَخِى ارْفَعْ ثَوْبَكَ ، فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ وَأَتْقَى لِرَبِّكَ ،

“Wahai anak saudaraku. Tinggikanlah pakaianmu! Sesungguhnya itu akan lebih mengawetkan pakaianmu dan akan lebih bertakwa kepada Rabbmu.”

Jadi, masalah isbal (celana menyeret tanah) adalah perkara yang amat penting. Jika ada yang mengatakan ‘kok masalah celana saja dipermasalahkan?’ Maka cukup kisah ini sebagai jawabannya. Kita menekankan masalah ini karena salaf (shahabat) juga menekankannya. -Semoga kita dimudahkan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah-